Senin, 04 Mei 2015

Kandungan Al-Qur’an Surat Al-Hajj (22) Ayat 41

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya, sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institusi pendidikan.
Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya hidup dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan. Bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi. Saat ini, banyak institusi pendidikan telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan memakmuran diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. Gelar dianggap sebagai tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun status tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai individu-individu yang beradab. Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang sekular.
Dalam budaya Barat sekular, tingginya pendidikan seseorang tidak berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan individu yang bersangkutan. Dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum Muslimin adalah banyaknya dari kalangan Muslim memiliki pendidikan yang tinggi, namun dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan visi dan misi pendidikan yang pragmatis. Sebenarnya, agama Islam memiliki tujuan yang lebih komprehensif dan integratif dibanding dengan sistem pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang memiliki paradigma yang pragmatis.
Dalam makalah ini penulis berusaha menggali dan mendeskripsikan tujuan pendidikan dalam Islam secara induktif dengan melihat dalil-dalil naqli yang sudah ada dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, juga memadukannya dalam konteks kebutuhan dari masyarakat secara umum dalam pendidikan, sehingga diharapkan tujuan pendidikan dalam Islam dapat diaplikasikan pada wacana dan realita kekinian. Dalam menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an diperlukan ilmu yang luas. Maka dalam makalah ini akan di coba menguraikan tafsir tentang ayat-ayat yang berhubungan dengan tujuan pendidikan yaitu pada: Q.S. Al-Hajj [21] : 41, dan Q.S. Al-Dzariyat [51]: 56.
B.   Tujuan Pembuatan Makalah
1.   Agar mahasiswa tahu tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan tujuan pendidikan.
2.   Agar para mahasiswa dapat memahami bahwa Al-Qur’an secara konfrehensif membahas tentang tujuan pendidikan.
3.   Agar mahasiswa dapat memahami tentang urgensi pendidikan ditinjau dari ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan.
4.  Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami realitas tujuan pendidikan saat ini dengan tujuan pendidikan yang tergambar dalam Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN

A.   Kandungan Al-Qur’an Surat Al-Hajj (22) Ayat 41
1.     Teks Terjemah
 “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”
2.      Pengertian Global
Ayat ini menerangkan tentang keadaan orang-orang yang diberikan kemenangan dan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi; yakni Kami berikan mereka kekuasaan mengelola satu wilayah dalam keadaan mereka yang merdeka niscaya mereka melaksanakan shalat secara sempurna rukun, syarat, dan sunnah-sunnahnya dan mereka juga menunaikan zakat sesuai kadarnya. Serta mereka menyuruh anggota masyarakatnya agar berbuat yang ma’ruf serta mencegah dari yang munkar.Ayat di atas mencerminkan sekelumit dari ciri-ciri masyarakat yang diidamkan Islam, kapan dan di manapun, dan yang telah terbukti dalam sejarah melalui masyarakat Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau.
Al-Qur’an mengisyaratkan kedua nilai di atas dalam firman-Nya dalam surah Ali Imran, ayat 104 yang berbunyi:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang beruntung”. (QS 3:104)
Kaitannya dengan tujuan pendidikan sebagai berikut:
1.  Mewujudkan seorang yang selalu menegakkan kebenaran dan mencegah kemunkaran.
2.  Mewujudkan manusia yang selalu bertawaqqal pada Allah.
3.      Penjelasan Ayat
Di zaman era globalisasi ini pendidikan sangatlah penting bagi manusia, pendidikan adalah salah satu sarana bagi seseorang untuk menata hidupnya sedemikian rupa, tapi, dilihat dari kenyataannya, pendidikan di zaman modern ini tidak mampu membuat kehidupan social yang bermoral, apakah pendidikan sekarang sudah benar dan berkualitas?.
Telah banyak institusi-institusi yang bergerak di bidang pendidikan yang memiliki fasilitas dan kualitas yang bagus, ternyata belum bisa menciptakan manusia-manusia yang beradab. Ini dikarenakan institusi-institusi pendidikan banyak menerapkan visi dan misi pragmatis yang dibawa dari Negara bagian barat. Tidak ada lagi penanaman nilai-nilai spiritual, kebaikan dan bermoral didalam institusi tersebut. Sekarang, institusi-institusi pendidikan kebanyakannya telah berubah menjadi industry bisnis yang mengajarkan manusia untuk bekerja supaya memperoleh kesenangan dan kemakmuran diri sendiri, perusahaan dan Negara, sehingga nilai-nilai moral sebagai manusia tak pernah diajarkan.
Kaum muslimin pun telah terkena dampak dari pengaruh hegemoni dunia barat tersebut. Banyak kaum muslimin yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi, tetapi mereka tidak bisa menjadi muslim yang berakhlak mulia. Ini dikarenakan institusi pendidikan tempat mereka belajar dahulu menerapkan visi dan misi pragmatis. Inilah saatnya kita kembali kepada rujukan yang tidak ada cacatnya yaitu Al-Qur’an. Al-Quran ternyata lebih memiliki system yang komprehensif dan integritas dibandingkan system pendidikan dunia barat. Islam mempunyai tujuan utama yaitu “mendapatkan ridho Allah S.W.T”, diharapkan dengan diterapkan tujuan ini di dalam pendidikan, manusia bisa menjadi orang-orang yang bermoral, mempunyai kualitas, dan bermanfaat, tidak hanya buat diri sendiri tetapi juga buat keluarga, masyarakat, Negara, bahkan buat ummat manusia sedunia dengan landasan mendapatkan ridho Allah SWT.
Abdul Fatah Jalal menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang dapat dilihat dari surat Al hajj ayat 41: “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”.
Ayat ini mengemukakan tentang tujuan pendidikan yang membentuk masyarakat yang diidam-idamkan, yaitu mempunyai pemimpin dan anggota-anggota yang bertakwa, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, menegakkan nilai-nilai ma’ruf (perkembangan positif) dalam masyarakat dan mencegah perbuatan yang munkar.
Untuk itu hendaklah kita benahi pendidikan kita yang telah terpedaya dengan system yang dibuat oleh dunia barat. Dari sekarang hendaklah kita pada umumnya dan pendidik pada khususnya merubah tujuan pendidikan kita, yaitu untuk “mendapatkan ridho Allah S.W.T. dan menjadi hamba Allah yang patuh terhadap perintah-Nya”. apabila tujuan kita berlandaskan dengan ini, maka dunia akan terjamin keselamatannya, dan manusia akan mempunyai moral yang berakhlak mulia. Sehingga dapat kita capai tujuan akhir dari pendidikan seperti yang dikatakan oleh Muhammad Athiyah al- Abrasyi, yaitu: Terbinanya akhlak manusia. Manusia benar-benar siap untuk hidup didunia dan diakhirat. Ilmu dapat benar-benar dikuasai dengan moral manusia yang mantap dan manusia benar-benar terampil bekerja di dalam masyarakat.

B.   Kandungan Al-Qur’an Surat al-Dzariyat [51] ayat 56
1.     Teks Terjemah
 “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”
2.     Pengertian Global
Ayat di atas menggunakan bentuk persona pertama (Aku). Ini bukan saja bertujuan menekankan pesan yang di kandungnya tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa perbuatan-perbuatan Allah tidak melibatkan malaikat atau sebab-sebab lainnya. Di sini penekanannya adalah beribadah kepada-Nya semata-mata, maka redaksi yang digunakan berbentuk tunggal dan tertuju kepada-Nya semata-mata tanpa memberi kesan adanya keterlibatan selain Allah SWT.
Didahulukannya penyebutan kata al-jin (jin) dari kata al-ins (manusia) karena jin lebih dahulu diciptakan Allah dari pada manusia.Kaitannya dengan tujuan pendidikan itu sendiri dapat kita pahami sebagai berikut:Pertama, kemantapan makna penghambaan diri kepada Allah dalam hati setiap insan. Tidak ada dalam wujud ini kecuali satu Tuhan dan selain-Nya adalah hamba-hamba-Nya.Kedua, Mengarah kepada Allah dengan setiap gerak pada nurani, pada setiap anggota badan dan setiap gerak dalam hidup. Semuanya mengarah hanya kepada Allah secara tulus. Dengan demikian, terlaksanalah makna ibadah.
3.     Penjelasan Ayat
Ayat ini dengan sangat jelas mengabarkan kepada kita bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia tidak lain hanyalah untuk “mengabdi” kepada Allah SWT. Dalam gerak langkah dan hidup manusia haruslah senantiasa diniatkan untuk mengabdi kepada Allah. Tujuan pendidikan yang utama dalam Islam menurut Al-Qur’an adalah agar terbentuk insan-insan yang sadar akan tugas utamanya di dunia ini sesuai dengan asal mula penciptaannya, yaitu sebagai abid. Sehingga dalaM melaksanakan proses pendidikan, baik dari sisi pendidik atau anak didik, harus didasari sebagai pengabdian kepada Allah SWT semata.
Mengabdi dalam terminologi Islam sering diartikan dengan beribadah. Ibadah bukan sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi. Ibadah juga merupakan dampak keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau dan tidak terbatas. Ibadah dalam pandangan ilmu Fiqh ada dua yaitu ibadah mahdloh dan ibadah ghoiru mahdloh. Ibadah mahdloh adalah ibadah yang telah ditentukan oleh Allah bentuk, kadar atau waktunya seperti halnya sholat, zakat, puasa dan haji. Sedangkan ibadah ghoiru mahdloh adalah sebaliknya, kurang lebihnya yaitu segala bentuk aktivitas manusia yang diniatkan untuk memperoleh ridho dari Allah SWT.
Segala aktivitas pendidikan, belajar-mengajar dan sebagainya adalah termasuk dalam kategori ibadah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW :
طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة (رواه ابن عبد البر)
“Menuntut ilmu adalah fardlu bagi tiap-tiap orang-orang Islam laki-laki dan perempuan” (H.R Ibn Abdulbari)
من خرج فى طلب العلم فهو فى سبيل الله حتى يرجع (رواه الترمذى)
“Barangsiapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah termasuk golongan sabilillah (orang yang menegakkan agama Allah) hingga ia sampai pulang kembali”. (H.R. Turmudzi)
Pendidikan sebagai upaya perbaikan yang meliputi keseluruhan hidup individu termasuk akal, hati dan rohani, jasmani, akhlak, dan tingkah laku. Melalui pendidikan, setiap potensi yang di anugerahkan oleh Allah SWT dapat dioptimalkan dan dimanfaatkan untuk menjalankan fungsi sebagai khalifah di muka bumi. Sehingga pendidikan merupakan suatu proses yang sangat penting tidak hanya dalam hal pengembangan kecerdasannya, namun juga untuk membawa peserta didik pada tingkat manusiawi dan peradaban, terutama pada zaman modern dengan berbagai kompleksitas yang ada.
Dalam penciptaaannya, manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan dengan dua fungsi, yaitu fungsi sebagai khalifah di muka bumi dan fungsi manusia sebagai makhluk Allah yang memiliki kewajiban untuk menyembah-Nya. Kedua fungsi tersebut juga dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya berikut,: “...Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Ketika Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi dan dengannya Allah SWT mengamanahkan bumi beserta isi kehidupannya kepada manusia, maka manusia merupakan wakil yang memiliki tugas sebagai pemimpin dibumi Allah.
Al-Ghozali melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya, yakni memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud di balik itu membentuk individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa. Dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, pada umumnya para ulama berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah ”untuk beribadah kepada Allah SWT”. Kalau dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa, maka dalam konteks pendidikan Islam justru harus lebih dari itu, dalam arti, pendidikan Islam bukan sekedar diarahkan untuk mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa, tetapi justru berusaha mengembangkan manusia menjadi imam/pemimpin bagi orang beriman dan bertaqwa (waj’alna li al-muttaqina imaama).
Untuk memahami profil imam/pemimpin bagi orang yang bertaqwa, maka kita perlu mengkaji makna takwa itu sendiri. Inti dari makna takwa ada dua macam yaitu; itba’ syariatillah (mengikuti ajaran Allah yang tertuang dalam al-Qur’an dan Hadits) dan sekaligus itiba’ sunnatullah (mengikuti aturan-aturan Allah, yang berlalu di alam ini), Orang yang itiba’ sunnatullah adalah orang-orang yang memiliki keluasan ilmu dan kematangan profesionalisme sesuai dengan bidang keahliannya. Imam bagi orang-orang yang bertaqwa, artinya disamping dia sebagai orang yang memiki profil sebagai itba’ syaria’tillah sekaligus itba’ sunnatillah, juga mampu menjadi pemimpin, penggerak, pendorong, inovator dan teladan bagi orang-orang yang bertaqwa.
C.   Tujuan Pendidikan Melalui Pendekatan Religi
Pendekatan religi yaitu suatu pendekatan untuk menyusun teori-teori pendidikan dengan bersumber dan berlandaskan pada ajaran agama. Di dalamnya berisikan keyakinan dan nilai-nilai tentang kehidupan yang dapat dijadikan sebagai sumber untuk menentukan tujuan, metode bahkan sampai dengan jenis-jenis pendidikan. Terkait dengan teori pendidikan Islam, Ahmad Tafsir (1992) dalam bukunya “ Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam” mengemukakan dasar ilmu pendidikan Islam yaitu Al-Quran, Hadis dan Akal. Al-Quran diletakkan sebagai dasar pertama dan Hadis Rasulullah SAW sebagai dasar kedua. Sementara akal digunakan untuk membuat aturan dan teknis yang tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utamanya (Al-Qur’an dan Hadis), yang memang telah terjamin kebenarannya. Dengan demikian, teori pendidikan Islam tidak merujuk pada aliran-aliran filsafat buatan manusia, yang tidak terjamin tingkat kebenarannya.
Berkenaan dengan tujuan pendidikan Islam, World Conference on Muslim Education (Hasan Langgulung, 1986) merumuskan bahwa : “ Education should aim at balanced growth of the total personality of man through Man’s spirit, intelellect the rational self, feelings and bodily senses. Education should therefore cater for the growth of man in all its aspects, spirituals, intelectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these aspects toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of Muslim Education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large.”
Sementara itu, Ahmad Tafsir (1992) merumuskan tentang tujuan umum pendidikan Islam yaitu muslim yang sempurna dengan ciri-ciri :
(1)    Memiliki jasmani yang sehat, kuat dan berketerampilan;
(2)    Memiliki kecerdasan dan kepandaian dalam arti mampu menyelesaikan secara cepat dan tepat; mampu menyelesaikan secara ilmiah dan filosofis; memiliki dan mengembangkan sains; memiliki dan mengembangkan filsafat dan
(3)     Memiliki hati yang takwa kepada Allah SWT, dengan sukarela melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya dan hati memiliki hati yang berkemampuan dengan alam gaib.
Dalam teori pendidikan Islam, dibicarakan pula tentang hal-hal yang berkaitan dengan substansi pendidikan lainnya, seperti tentang sosok guru yang islami, proses pembelajaran dan penilaian yang islami, dan sebagainya. (selengkapnya lihat pemikiran Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam). Mengingat kompleksitas dan luasnya lingkup pendidikan, maka untuk menghasilkan teori pendidikan yang lengkap dan menyeluruh kiranya tidak bisa hanya dengan menggunakan satu pendekatan saja. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan holistik dengan memadukan ketiga pendekatan di atas yang terintegrasi dan memliki hubungan komplementer, saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya. Pendekatan semacam ini biasa disebut pendekatan multidisipliner.

BAB III
P E N U T U P
A.   KESIMPULAN
Dari deskripsi singkat di atas, dapat dipahami bahwa al-Qur’an telah memberikan rambu-rambu yang jelas kepada kita tentang konsep pendidikan yang komperehensif. Yaitu pendidikan yang tidak hanya berorientasi untuk kepentingan hidup di dunia saja, akan tetapi juga berorientasi untuk keberhasilan hidup di akhirat kelak. Karena kehidupan dunia ini adalah jembatan untuk menuju kehidupan sebenarnya, yaitu kehidupan di akhirat.
 Sebagai insan kamil dilengkapi dua piranti penting untuk memperoleh pengetahuan, yaitu akal dan hati. Yang dengan dua piranti ini manusia mampu memahami “bacaan” yang ada di sekitarnya. Fenomena maupun nomena yang mampu untuk ditelaahnya. Karena hanya manusia makhluk yang diberi kelebihan ini.
Pengetahuan yang telah didapat manusia sudah seyogyanya diorientasikan untuk kepentingan seluruh umat manusia. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia seluruhnya. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa manusia juga hidup berdampingan dengan lingkungan, sehingga tidak bisa serta merta kemajuan pengetahuan pengetahuan dan teknologi malah menghancurkan dan merusak keseimbangan alam. Karena sudah menjadi tugas manusia untuk melestarikan alam ini sebagai pengejawantahan kekhalifahan manusia sekaligus bentuk ta’abbudnya kepada Allah swt.



B.   SARAN
Ayat-ayat yang telah dijelaskan diatas mengemukakan tentang tujuan pendidikan yang membentuk masyarakat yang diidam-idamkan, yaitu mempunyai pemimpin dan anggota-anggota yang bertakwa, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, menegakkan nilai-nilai ma’ruf (perkembangan positif) dalam masyarakat dan mencegah perbuatan yang munkar.
Untuk itu hendaklah kita benahi pendidikan kita yang telah terpedaya dengan system yang dibuat oleh dunia barat. Dari sekarang hendaklah kita pada umumnya dan pendidik pada khususnya merubah tujuan pendidikan kita, yaitu untuk “mendapatkan ridho Allah S.W.T. dan menjadi hamba Allah yang patuh terhadap perintah-Nya”. apabila tujuan kita berlandaskan dengan ini, maka dunia akan terjamin keselamatannya, dan manusia akan mempunyai moral yang berakhlak mulia. Sehingga dapat kita capai tujuan akhir dari pendidikan seperti yang dikatakan oleh Muhammad Athiyah al- Abrasyi, yaitu: Terbinanya akhlak manusia. Manusia benar-benar siap untuk hidup didunia dan diakhirat. Ilmu dapat benar-benar dikuasai dengan moral manusia yang mantap dan manusia benar-benar terampil bekerja di dalam masyarakat.

Wallahu A’lam Bisshawab ...





DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam. Bandung: Rosda Karya
Ali Saifullah.HA. 1983. Antara Filsafat dan Pendidikan: Pengantar Filsafat Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi ( Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1974)Al-Ikhlash, Sulaiman Al-Asyqor, dar An-Nafais.
Departemen agama, al-Qur’an dan Tafsirnya ( Jakarta: Proyek pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1990).
Fawaid Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim, tahqiq Syaikh Ali Hasan, Dar Ibnul Jauzi.
Hasan Langgulung, 1986. Manusia dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Shihab, M.Quraish, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2001)
 Tafsir al-Qur-an al-Karim ( Bandung: : Pustaka Hidayah, 1997)
Tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1992)






















TAFSIR AL-QUR’AN

A.    PENGERTIAN TAFSIR
Secara etimologis, tafsir berakar dari kata fassara-yufassiru-tafsiran, berarti keterangan dan penjelasan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT:
وَلاَ يَأٌتُوْ نَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ باِلْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا (۳۳)
            “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melaiknkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqon 25:13)
            Dengan demikian tafsir berarti kasyfu al-murad’an al-lafzh al-musykil (menyingkap dari kata yang sulit). Dari segi terminologis:
1.      Abu Hayyan
Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh Al-Qur’an dan makna dari lafazh-lafazh tersebut.
2.      Az-Zarkasyi
Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.
3.      Az-Zarqani
Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an Al-Karim dari segi makna yang terkandung didalamnya sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh Allah SWT sebatas kemampuan manusia.
            Secara terminologis tafsir adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam menafsirkan Al-Qur’an para mufasir juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, sosial budaya yang berbeda-beda, sehingga bentuk, metode dan corak penafsiran mereka juga berbeda-beda. Ada dua bentuk penafsiran, yaitu at-tafsir bi al-ma’tsur dan at-tafsir bi ar-ra’yi,dan empat metode yaitu ijmali, tahlili, muqarin dan maudhu’i. Dari segi corak lebih beragam, ada yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan corak sastra budaya kemasyarakatan.

B.     SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para sahabat pertama-tama menelitinya dalam Al-Qur’an sendiri. Kedua, merujuk kepada penafsiran Nabi Muhammad SAW. Ketiga, apabila mereka tidak menemukan keterangan tentang ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak sempat menanyakannya kepada Raulullah SAW, para sahabat berijtihad dengan bantuan pengetahuan bahasa arab. Yang terakhir, sebagian sahabat ada pula yang menanyakan beberapa masalah khususnya sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh Ahlul Kitab yang telah memeluk agama Islam.
Sesudah periode sahabat, generasi berikutnya (tabi’in) meneruskan usaha yang telah dirintis oleh para sahabat. Disamping menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan HaditsNabi, mereka juga merujuk pada penafsiran para sahabat dan sebagian juga tidak lupa mengutip dari ahlul kitab. Setelah itu baru mereka mengembangkan penafsiran sendiri berdasarkan ijtihad.
Sesudah masa sahabat dan tabi’in datanglah masa kodifikasi (tadwin) hadits dimana riwayat-riwayat berisi tafsir dikelompokkan menjadi satu bab sendiri, walaupun belum sistematis seperti susunan Al-Qur’an dalam perkembangan selanjutnya tafsir dipisahkan dari kandungan kitab hadits dan menjadi kitab sendiri. Riwayat-riwayat yang dikumpulkan sudah mencakup keseluruhan ayat Al-Qur’an dan disusun sesuai dengan sistematika mushaf. Bentuk penafsiran yang dirintis Ibn Jarir dan mufasir lain pada masa awal pembukuan tafsir inilah yang kemudian dikenal dengan bentuk at-tafsir bi al-ma’tsur.
Pada masa Daulah ‘Abbasiyah, para mufasir tidak puas hanya dengan bentuk bi al-ma’tsur, kemudian dikenal dengan at-tafsir bi ar-ra’yi. Dengan at-tafsir bi ar-ra’yi seorang mufasir menafsirkan ayat Al-Qur’an menggunakan kemampuan ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan Hadits dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in.
C.    BENTUK, METODE DAN CORAK TAFSIR

1.      Bentuk Penafsiran Al-Qur’an
a.      Tafsir bi al-ma’tsur
Tafsir ini menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan sunnah Nabi dan Al-Qur’an dengan pendapat atau penafsiran para sahabat Nabi dan tabi’in. Dinamai dengan bi al-ma’tsur karena dalam menafsirkan Al-Qur’an, seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Contoh tafsit Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau ayat dengan ayat dalam firman Allah dalam Surat Al-An’am ayat 82 ditafsirkan oleh Surat Luqman ayat 13.

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ (۸۲)
orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am 6:82)



وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشَّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (۱۳)
“Dan (Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman 31:13)
            Kezaliman yang dimaksud dalam ayat tersebut, bukanlah seperti yang dipahami mereka, tetapi seperti yang dimaksudkan oleh hamba Allah yang saleh yaitu Luqman: “...Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
            Contoh tafsir Al-Qur’an dengan hadits Nabi adalah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Jarir dan lain-lain dari ‘Adi bin Hatim, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang firman Allah SWT: ghairil maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin, Nabi menjelaskan bahwa ghairil maghdhubi ‘alaihim adalah Yahudi, dan       wa la adh-dhallin adalah Nashara.
Kemudian tafsir Al-Qur’an dengan pendapat atau ijtihad para sahabat. Apabila mereka tidak menemukan keterangan tentang ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak sempat menanyakannya pada Rasulullah SAW, mereka berijtihad dengan bantuan pengetahuan bahasa arab. Dan dengan menggunakan kekuatan penalaran mereka sendiri. Baru yang terakhir, sebagian sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah dalam Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh Ahlul Kitab.
b.      Tafsir bi ar-Ra’yi
Tafsir bi ar-ra’yi adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan kemampuan ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan hadits dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Dinamai dengan at-tafsir bi ar-ra’yi  karena yang dominan memang penalaran atau ijtihad mufasir itu sendiri.ada beberapa ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufasir apabila akan melakukan tafsir bi ar-ra’yi: 1. Ilmu bahasa arab; 2. Ilmu nahwu; 3. Ilmu sharf; 4. Ilmu isytiqaa; 5. Ilmu balaghah; 6. Ilmu qiraat; 7. Ilmu ushuluddin; 8. Ilmu ushul fiqh; 9. Ilmu asbabun nuzul; 10. Ilmu kisah-kisah; 11. Ilmu nasikh dan mansukh; 12. Ilmu hadits yang dapat menjelaskan mujmal dan mubham; 13. Ilmu mauhibah.
2.    Metode Penafsiran Al-Qur’an
Dari segi metode sejauh ini dikenal ada empat metode penafsiran yaitu ijmali, tahlili, muqarin, dan maudhu’i.
a.      Metode Ijmali
Metode ijmali adalah metode yang paling awal muncul karena sudah digunakan sejak Nabi dan para sahabat. Dengan metode ijmali, seorang mufasir mentafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas, mulai dari ayat pertama sampai ayat terakhir sesuai dengan susunan ayat dan surat di dalam mushaf dengan bahasa yang populer dan mudah dimengerti. Contoh terbaik untuk kitab tafsir yang menggun, akan metode ini antara lain: 1. Muhammad Farid Wajdi, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, 2. Jalal ad-Din Abu al-Fadhl ‘Abd ar-Rahman ibn Abi Bakr as-Suyuthi (w. 911 H) dan Jalal ad-Din Muhammad ibn Ahmad al-Muhalli (w. 864 H), Tafsir al-Jalalain.
b.      Metode Tahlili
Setelah metode ijmali, dikenal metode tahlili. Dengan menggunakan metode ini, seorang mufasir berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai aspek bahasa, asbab an-nuzul, munasabah, dan aspek lain yang memungkinkan sesuai dengan minat dan kecenduran itu sendiri. Contoh kitab-kitab dari kedua bentuk itu sudah banyak disebut sebelumnya sehingga tidak perlu lagi disebutkan pada bagian ini.
c.       Metode Muqarin
Dengan metode ini seorang mufasir melakukan perbandingan antara 1. Teks ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; 2. Ayat-ayat Al-Qur’andengan hadist pada lahirnya terlihat bertentangan; dan 3. Berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an. Contoh kitab tafsir dengan metode ini adalah 1. Al-Khathib al-Iskafi (w.240 H), Durrah at-Tanzil wa Ghurrah at-Ta’wil; dan 2. Taj al-Qurra al-Karmani (w. 505 H), al-Burhan fi Taujih Mutasyabah Al-Qur’an.
d.      Metode Maudhu’i
Dengan metode ini seseorang mufasir menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan khash, antara yang muthlaq dan yang muqayyad, mensinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat. Contoh kitab tafsir antara lain; 1. ‘Abbas al-‘Aqqad, al-Mar’ah fi Al-Qur’an; 2. Abu al-‘Ala al-Maududi, ar-Riba fi Al-Qur’an.
3.    Corak Penafsiran Al-Qur’an
                        Sejauh ini, corak penafsiran yang dikenal antara lain sebagai berikut:
a.       Corak Sastra Bahasa
b.      Corak Fikih atau Hukum
c.       Corak Teologi dan atau Filsafat
d.      Corak Tasawuf
e.       Corak Penafsiran Ilmiah
f.       Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan


D. KITAB-KITAB BERBAHASA INDONESIA
            Sejak pertiga awal abad XX di Indonesia telah lahir berbagai karya berbahasa Indonesia tentang Al-Qur’an dengan beberapa anotasi dimana perlu maupun dalam bentuk tafsir Al-Qur’an sebagian atau keseluruhannya.
            Dalam bentuk terjemahan Al-Qur’an dengan beberapa anotasi dimana perlu antara lain:
1.      Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur’an al-Karim (1930);
2.      A. Halim Hasan, Zainal Arifin Abbas dan Abdur Rahim Haitami, Tafsir al-Qur’an Al-Krim (1955);
3.      Zainuddin Hamidy dan Hs. Fachruddin, Tafsir Qur’an (1959);
4.      Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an (1978);
5.      Oemar Bakry, Tafsir Rahmat (1983)
6.      Team Penerjemah Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya(1975).
Dalam bentuk tafsir Al-Qur’an sebagian atau keseluruhannya, antara lain:
1.      Abdul Karim Amrullah, Al-Burhan, Tafsir Juz ‘Amma (1922);
2.      Ahmad Hassan, Al-Hidayah, Tafsir Juz ‘Amma (1930);
3.      M. Hashbi ash-Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur (1952);
4.      HAMKA, Tafsir Al-Azhar (1982);
5.      Team Penafsir Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya (1995);
6.      M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (2000).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar