BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sangat mementingkan pendidikan. Dengan
pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan
terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Sayangnya,
sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan
fasilitas, namun institusi-institusi tersebut masih belum memproduksi
individu-individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang
mengarah kepada terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan
institusi pendidikan.
Penekanan kepada pentingnya anak didik supaya
hidup dengan nilai-nilai kebaikan, spiritual dan moralitas seperti terabaikan.
Bahkan kondisi sebaliknya yang terjadi. Saat ini, banyak institusi pendidikan
telah berubah menjadi industri bisnis, yang memiliki visi dan misi yang
pragmatis. Pendidikan diarahkan untuk melahirkan individu-individu pragmatis
yang bekerja untuk meraih kesuksesan materi dan profesi sosial yang akan
memakmuran diri, perusahaan dan Negara. Pendidikan dipandang
secara ekonomis dan dianggap sebagai sebuah investasi. Gelar dianggap sebagai
tujuan utama, ingin segera dan secepatnya diraih supaya modal yang selama ini
dikeluarkan akan menuai keuntungan. Sistem pendidikan seperti ini sekalipun akan
memproduksi anak didik yang memiliki status pendidikan yang tinggi, namun
status tersebut tidak akan menjadikan mereka sebagai individu-individu yang
beradab. Pendidikan yang bertujuan pragmatis dan ekonomis sebenarnya merupakan
pengaruh dari paradigma pendidikan Barat yang sekular.
Dalam budaya Barat sekular, tingginya
pendidikan seseorang tidak berkorespondensi dengan kebaikan dan kebahagiaan
individu yang bersangkutan. Dampak dari hegemoni pendidikan Barat terhadap kaum
Muslimin adalah banyaknya dari kalangan Muslim memiliki pendidikan yang tinggi,
namun dalam kehidupan nyata, mereka belum menjadi Muslim-Muslim yang baik dan
berbahagia. Masih ada kesenjangan antara tingginya gelar pendidikan yang diraih
dengan rendahnya moral serta akhlak kehidupan Muslim. Ini terjadi disebabkan
visi dan misi pendidikan yang pragmatis. Sebenarnya, agama Islam memiliki
tujuan yang lebih komprehensif dan integratif dibanding dengan sistem
pendidikan sekular yang semata-mata menghasilkan para anak didik yang memiliki
paradigma yang pragmatis.
Dalam makalah ini penulis berusaha menggali
dan mendeskripsikan tujuan pendidikan dalam Islam secara induktif dengan
melihat dalil-dalil naqli yang sudah ada dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, juga
memadukannya dalam konteks kebutuhan dari masyarakat secara umum dalam
pendidikan, sehingga diharapkan tujuan pendidikan dalam Islam dapat
diaplikasikan pada wacana dan realita kekinian. Dalam menafsirkan
ayat-ayat Al Qur’an diperlukan ilmu yang luas. Maka dalam
makalah ini akan di coba menguraikan tafsir tentang ayat-ayat yang berhubungan
dengan tujuan pendidikan yaitu pada: Q.S. Al-Hajj [21] : 41, dan Q.S.
Al-Dzariyat [51]: 56.
B. Tujuan Pembuatan Makalah
1. Agar mahasiswa tahu tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang
berkaitan dengan tujuan pendidikan.
2. Agar para mahasiswa dapat memahami bahwa Al-Qur’an
secara konfrehensif membahas tentang tujuan pendidikan.
3. Agar mahasiswa dapat memahami tentang urgensi
pendidikan ditinjau dari ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan pendidikan.
4. Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami realitas tujuan pendidikan
saat ini dengan tujuan pendidikan yang tergambar dalam Qur’an.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kandungan Al-Qur’an Surat Al-Hajj (22) Ayat 41
1. Teks Terjemah
“(yaitu) orang-orang yang
jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan
shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan
yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.”
2. Pengertian Global
Ayat ini menerangkan tentang keadaan orang-orang yang diberikan
kemenangan dan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi; yakni Kami berikan
mereka kekuasaan mengelola satu wilayah dalam keadaan mereka yang merdeka
niscaya mereka melaksanakan shalat secara sempurna rukun, syarat, dan
sunnah-sunnahnya dan mereka juga menunaikan zakat sesuai kadarnya. Serta mereka
menyuruh anggota masyarakatnya agar berbuat yang ma’ruf serta mencegah dari
yang munkar.Ayat di atas mencerminkan sekelumit dari ciri-ciri masyarakat yang
diidamkan Islam, kapan dan di manapun, dan yang telah terbukti dalam sejarah
melalui masyarakat Nabi Muhammad SAW dan para sahabat beliau.
Al-Qur’an
mengisyaratkan kedua nilai di atas dalam firman-Nya dalam surah Ali Imran, ayat
104 yang berbunyi:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar;
mereka adalah orang-orang yang beruntung”. (QS 3:104)
Kaitannya dengan tujuan pendidikan sebagai
berikut:
1. Mewujudkan seorang yang selalu menegakkan kebenaran dan
mencegah kemunkaran.
2. Mewujudkan manusia yang selalu
bertawaqqal pada Allah.
3. Penjelasan
Ayat
Di zaman era
globalisasi ini pendidikan sangatlah penting bagi manusia, pendidikan adalah
salah satu sarana bagi seseorang untuk menata hidupnya sedemikian rupa, tapi,
dilihat dari kenyataannya, pendidikan di zaman modern ini tidak mampu membuat
kehidupan social yang bermoral, apakah pendidikan sekarang sudah benar dan
berkualitas?.
Telah banyak
institusi-institusi yang bergerak di bidang pendidikan yang memiliki fasilitas
dan kualitas yang bagus, ternyata belum bisa menciptakan manusia-manusia yang
beradab. Ini dikarenakan institusi-institusi pendidikan banyak menerapkan visi
dan misi pragmatis yang dibawa dari Negara bagian barat. Tidak ada lagi
penanaman nilai-nilai spiritual, kebaikan dan bermoral didalam institusi
tersebut. Sekarang, institusi-institusi pendidikan
kebanyakannya telah berubah menjadi industry bisnis yang mengajarkan manusia
untuk bekerja supaya memperoleh kesenangan dan kemakmuran diri sendiri,
perusahaan dan Negara, sehingga nilai-nilai moral sebagai manusia tak pernah
diajarkan.
Kaum
muslimin pun telah terkena dampak dari pengaruh hegemoni dunia barat tersebut.
Banyak kaum muslimin yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi, tetapi
mereka tidak bisa menjadi muslim yang berakhlak mulia. Ini dikarenakan
institusi pendidikan tempat mereka belajar dahulu menerapkan visi dan misi
pragmatis. Inilah saatnya kita kembali kepada rujukan yang tidak ada cacatnya
yaitu Al-Qur’an. Al-Quran ternyata lebih memiliki system yang komprehensif dan integritas dibandingkan system pendidikan dunia
barat. Islam mempunyai tujuan utama yaitu “mendapatkan ridho Allah S.W.T”,
diharapkan dengan diterapkan tujuan ini di dalam pendidikan, manusia bisa
menjadi orang-orang yang bermoral, mempunyai kualitas, dan bermanfaat, tidak
hanya buat diri sendiri tetapi juga buat keluarga, masyarakat, Negara, bahkan
buat ummat manusia sedunia dengan landasan mendapatkan ridho Allah SWT.
Abdul Fatah Jalal menyatakan bahwa tujuan pendidikan yang dapat
dilihat dari surat Al hajj ayat 41: “(yaitu) orang-orang yang jika Kami
teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang,
menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang
mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”.
Ayat ini mengemukakan tentang tujuan pendidikan yang membentuk
masyarakat yang diidam-idamkan, yaitu mempunyai pemimpin dan anggota-anggota
yang bertakwa, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, menegakkan nilai-nilai
ma’ruf (perkembangan positif) dalam masyarakat dan mencegah perbuatan yang
munkar.
Untuk itu
hendaklah kita benahi pendidikan kita yang telah terpedaya dengan system yang
dibuat oleh dunia barat. Dari sekarang hendaklah kita pada umumnya dan pendidik
pada khususnya merubah tujuan pendidikan kita, yaitu untuk “mendapatkan
ridho Allah S.W.T. dan menjadi hamba Allah yang patuh terhadap perintah-Nya”.
apabila tujuan kita berlandaskan dengan ini, maka dunia akan terjamin
keselamatannya, dan manusia akan mempunyai moral yang berakhlak mulia. Sehingga
dapat kita capai tujuan akhir dari pendidikan seperti yang dikatakan oleh
Muhammad Athiyah al- Abrasyi, yaitu: Terbinanya akhlak manusia. Manusia
benar-benar siap untuk hidup didunia dan diakhirat. Ilmu dapat benar-benar
dikuasai dengan moral manusia yang mantap dan manusia benar-benar terampil
bekerja di dalam masyarakat.
B. Kandungan Al-Qur’an Surat al-Dzariyat [51]
ayat 56
1. Teks Terjemah
“dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku”
2. Pengertian
Global
Ayat di atas
menggunakan bentuk persona pertama (Aku). Ini bukan saja bertujuan menekankan
pesan yang di kandungnya tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa
perbuatan-perbuatan Allah tidak melibatkan malaikat atau sebab-sebab lainnya.
Di sini penekanannya adalah beribadah kepada-Nya semata-mata, maka redaksi yang
digunakan berbentuk tunggal dan tertuju kepada-Nya semata-mata tanpa memberi
kesan adanya keterlibatan selain Allah SWT.
Didahulukannya penyebutan kata al-jin (jin) dari kata al-ins
(manusia) karena jin lebih dahulu diciptakan Allah dari pada manusia.Kaitannya
dengan tujuan pendidikan itu sendiri dapat kita pahami sebagai berikut:Pertama,
kemantapan makna penghambaan diri kepada Allah dalam hati setiap insan. Tidak
ada dalam wujud ini kecuali satu Tuhan dan selain-Nya adalah
hamba-hamba-Nya.Kedua, Mengarah kepada Allah dengan setiap gerak pada nurani,
pada setiap anggota badan dan setiap gerak dalam hidup. Semuanya mengarah hanya kepada Allah secara
tulus. Dengan demikian, terlaksanalah makna ibadah.
3. Penjelasan Ayat
Ayat ini dengan sangat jelas mengabarkan
kepada kita bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia tidak lain hanyalah untuk “mengabdi” kepada
Allah SWT. Dalam gerak langkah dan hidup manusia haruslah senantiasa diniatkan untuk
mengabdi kepada Allah. Tujuan pendidikan yang utama dalam Islam menurut
Al-Qur’an adalah agar terbentuk insan-insan yang sadar akan tugas utamanya di
dunia ini sesuai dengan asal mula penciptaannya, yaitu sebagai abid. Sehingga
dalaM melaksanakan proses pendidikan, baik dari sisi pendidik atau anak didik,
harus didasari sebagai pengabdian kepada Allah SWT semata.
Mengabdi dalam terminologi Islam sering
diartikan dengan beribadah. Ibadah bukan sekedar ketaatan dan ketundukan,
tetapi ia adalah satu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya
akibat adanya rasa keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya
ia mengabdi. Ibadah juga merupakan dampak keyakinan bahwa pengabdian itu
tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau dan tidak
terbatas. Ibadah dalam pandangan ilmu Fiqh ada dua yaitu ibadah mahdloh
dan ibadah ghoiru mahdloh. Ibadah mahdloh adalah ibadah yang telah ditentukan
oleh Allah bentuk, kadar atau waktunya seperti halnya sholat, zakat, puasa dan
haji. Sedangkan ibadah ghoiru mahdloh adalah sebaliknya, kurang lebihnya yaitu
segala bentuk aktivitas manusia yang diniatkan untuk memperoleh ridho dari
Allah SWT.
Segala aktivitas pendidikan, belajar-mengajar
dan sebagainya adalah termasuk dalam kategori ibadah. Hal ini sesuai
dengan sabda Nabi SAW :
طلب العلم فريضة على كل مسلم و مسلمة (رواه
ابن عبد البر)
“Menuntut ilmu adalah fardlu bagi tiap-tiap
orang-orang Islam laki-laki dan perempuan” (H.R Ibn Abdulbari)
من خرج فى طلب العلم فهو فى سبيل الله حتى
يرجع (رواه الترمذى)
“Barangsiapa yang pergi untuk menuntut ilmu, maka dia telah
termasuk golongan sabilillah (orang yang menegakkan agama Allah) hingga ia
sampai pulang kembali”. (H.R.
Turmudzi)
Pendidikan
sebagai upaya perbaikan yang meliputi keseluruhan hidup individu termasuk akal,
hati dan rohani, jasmani, akhlak, dan tingkah laku. Melalui pendidikan, setiap
potensi yang di anugerahkan oleh Allah SWT dapat dioptimalkan dan dimanfaatkan
untuk menjalankan fungsi sebagai khalifah di muka bumi. Sehingga pendidikan merupakan
suatu proses yang sangat penting tidak hanya dalam hal pengembangan
kecerdasannya, namun juga untuk membawa peserta didik pada tingkat manusiawi
dan peradaban, terutama pada zaman modern dengan berbagai kompleksitas yang
ada.
Dalam penciptaaannya, manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan
dengan dua fungsi, yaitu fungsi sebagai khalifah di muka bumi dan fungsi
manusia sebagai makhluk Allah yang memiliki kewajiban untuk menyembah-Nya.
Kedua fungsi tersebut juga dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya berikut,:
“...Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Ketika
Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi dan dengannya Allah SWT
mengamanahkan bumi beserta isi kehidupannya kepada manusia, maka manusia
merupakan wakil yang memiliki tugas sebagai pemimpin dibumi Allah.
Al-Ghozali melukiskan tujuan pendidikan sesuai dengan
pandangan hidupnya dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai
dengan filsafatnya, yakni memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan
maksud di balik itu membentuk individu-individu yang tertandai dengan
sifat-sifat utama dan takwa. Dalam khazanah pemikiran pendidikan Islam, pada
umumnya para ulama berpendapat bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah ”untuk
beribadah kepada Allah SWT”. Kalau dalam sistem pendidikan nasional,
pendidikan diarahkan untuk mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa, maka dalam konteks pendidikan Islam justru harus lebih
dari itu, dalam arti, pendidikan Islam bukan sekedar diarahkan untuk
mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa, tetapi justru berusaha
mengembangkan manusia menjadi imam/pemimpin bagi orang beriman dan bertaqwa (waj’alna
li al-muttaqina imaama).
Untuk
memahami profil imam/pemimpin bagi orang yang bertaqwa, maka kita perlu
mengkaji makna takwa itu sendiri. Inti dari makna takwa ada dua macam yaitu; itba’
syariatillah (mengikuti ajaran Allah yang tertuang dalam al-Qur’an dan
Hadits) dan sekaligus itiba’ sunnatullah (mengikuti aturan-aturan Allah, yang
berlalu di alam ini), Orang yang itiba’ sunnatullah adalah orang-orang yang
memiliki keluasan ilmu dan kematangan profesionalisme sesuai dengan bidang
keahliannya. Imam bagi orang-orang yang bertaqwa, artinya disamping dia sebagai
orang yang memiki profil sebagai itba’ syaria’tillah sekaligus itba’
sunnatillah, juga mampu menjadi pemimpin, penggerak, pendorong, inovator
dan teladan bagi orang-orang yang bertaqwa.
C. Tujuan Pendidikan Melalui
Pendekatan Religi
Pendekatan
religi yaitu suatu pendekatan untuk menyusun teori-teori pendidikan dengan
bersumber dan berlandaskan pada ajaran agama. Di dalamnya berisikan keyakinan
dan nilai-nilai tentang kehidupan yang dapat dijadikan sebagai sumber untuk
menentukan tujuan, metode bahkan sampai dengan jenis-jenis pendidikan. Terkait dengan teori pendidikan Islam, Ahmad Tafsir (1992) dalam bukunya “
Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam” mengemukakan dasar ilmu
pendidikan Islam yaitu Al-Quran, Hadis dan Akal. Al-Quran diletakkan sebagai
dasar pertama dan Hadis Rasulullah SAW sebagai dasar kedua. Sementara akal
digunakan untuk membuat aturan dan teknis yang tidak boleh bertentangan dengan
kedua sumber utamanya (Al-Qur’an dan Hadis), yang memang telah terjamin
kebenarannya. Dengan demikian, teori pendidikan Islam tidak merujuk pada
aliran-aliran filsafat buatan manusia, yang tidak terjamin tingkat
kebenarannya.
Berkenaan
dengan tujuan pendidikan Islam, World Conference on Muslim Education (Hasan
Langgulung, 1986) merumuskan bahwa : “ Education should aim at balanced
growth of the total personality of man through Man’s spirit, intelellect the
rational self, feelings and bodily senses. Education should therefore cater for
the growth of man in all its aspects, spirituals, intelectual, imaginative,
physical, scientific, linguistic, both individually and collectively, and
motivate all these aspects toward goodness and attainment of perfection. The
ultimate aim of Muslim Education lies in the realization of complete submission
to Allah on the level of individual, the community and humanity at large.”
Sementara
itu, Ahmad Tafsir (1992) merumuskan tentang tujuan umum pendidikan Islam yaitu
muslim yang sempurna dengan ciri-ciri :
(1) Memiliki jasmani yang sehat, kuat dan berketerampilan;
(2) Memiliki kecerdasan dan kepandaian dalam
arti mampu menyelesaikan secara cepat dan tepat; mampu menyelesaikan secara
ilmiah dan filosofis; memiliki dan mengembangkan sains; memiliki dan
mengembangkan filsafat dan
(3) Memiliki hati yang takwa kepada Allah SWT,
dengan sukarela melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi larangannya dan
hati memiliki hati yang berkemampuan dengan alam gaib.
Dalam teori
pendidikan Islam, dibicarakan pula tentang hal-hal yang berkaitan dengan
substansi pendidikan lainnya, seperti tentang sosok guru yang islami, proses
pembelajaran dan penilaian yang islami, dan sebagainya. (selengkapnya lihat
pemikiran Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan dalam Persfektif Islam). Mengingat kompleksitas dan luasnya
lingkup pendidikan, maka untuk menghasilkan teori pendidikan yang lengkap dan
menyeluruh kiranya tidak bisa hanya dengan menggunakan satu pendekatan saja. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan
holistik dengan memadukan ketiga pendekatan di atas yang terintegrasi dan
memliki hubungan komplementer, saling melengkapi antara satu dengan yang
lainnya. Pendekatan semacam ini biasa disebut pendekatan multidisipliner.
BAB III
P E N U T U P
A. KESIMPULAN
Dari deskripsi singkat di atas, dapat dipahami bahwa al-Qur’an
telah memberikan rambu-rambu yang jelas kepada kita tentang konsep pendidikan
yang komperehensif. Yaitu pendidikan yang tidak hanya berorientasi untuk kepentingan hidup
di dunia saja, akan tetapi juga berorientasi untuk keberhasilan hidup di
akhirat kelak. Karena kehidupan dunia ini adalah jembatan untuk menuju
kehidupan sebenarnya, yaitu kehidupan di akhirat.
Sebagai insan kamil dilengkapi dua piranti penting untuk
memperoleh pengetahuan, yaitu akal dan hati. Yang dengan dua piranti ini
manusia mampu memahami “bacaan” yang ada di sekitarnya. Fenomena maupun nomena
yang mampu untuk ditelaahnya. Karena hanya manusia makhluk yang diberi
kelebihan ini.
Pengetahuan
yang telah didapat manusia sudah seyogyanya diorientasikan untuk kepentingan
seluruh umat manusia. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat
bagi manusia seluruhnya. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa manusia juga hidup
berdampingan dengan lingkungan, sehingga tidak bisa serta merta kemajuan
pengetahuan pengetahuan dan teknologi malah menghancurkan dan merusak
keseimbangan alam. Karena sudah menjadi tugas manusia untuk melestarikan alam
ini sebagai pengejawantahan kekhalifahan manusia sekaligus bentuk ta’abbudnya
kepada Allah swt.
B. SARAN
Ayat-ayat yang telah dijelaskan diatas mengemukakan tentang tujuan
pendidikan yang membentuk masyarakat yang diidam-idamkan, yaitu mempunyai
pemimpin dan anggota-anggota yang bertakwa, melaksanakan shalat, menunaikan
zakat, menegakkan nilai-nilai ma’ruf (perkembangan positif) dalam masyarakat
dan mencegah perbuatan yang munkar.
Untuk itu hendaklah kita benahi pendidikan
kita yang telah terpedaya dengan system yang dibuat oleh dunia barat. Dari
sekarang hendaklah kita pada umumnya dan pendidik pada khususnya merubah tujuan
pendidikan kita, yaitu untuk “mendapatkan ridho Allah S.W.T. dan menjadi hamba
Allah yang patuh terhadap perintah-Nya”. apabila tujuan kita berlandaskan
dengan ini, maka dunia akan terjamin keselamatannya, dan manusia akan mempunyai
moral yang berakhlak mulia. Sehingga dapat kita capai tujuan akhir dari
pendidikan seperti yang dikatakan oleh Muhammad Athiyah al- Abrasyi, yaitu:
Terbinanya akhlak manusia. Manusia benar-benar siap untuk hidup didunia dan
diakhirat. Ilmu dapat benar-benar dikuasai dengan moral manusia yang mantap dan
manusia benar-benar terampil bekerja di dalam masyarakat.
Wallahu A’lam Bisshawab ...
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan dalam
Persfektif Islam. Bandung: Rosda Karya
Ali Saifullah.HA. 1983. Antara Filsafat dan
Pendidikan: Pengantar Filsafat Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi (
Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1974)Al-Ikhlash, Sulaiman Al-Asyqor, dar
An-Nafais.
Departemen agama, al-Qur’an dan Tafsirnya (
Jakarta: Proyek pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1990).
Fawaid Al-Fawaid, Ibnul Qoyyim, tahqiq
Syaikh Ali Hasan, Dar Ibnul Jauzi.
Hasan Langgulung, 1986. Manusia dan
Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Shihab, M.Quraish, Tafsir Al-Misbah; Pesan,
Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2001)
Tafsir al-Qur-an al-Karim ( Bandung: : Pustaka
Hidayah, 1997)
Tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya: PT. Bina
Ilmu, 1992)
TAFSIR AL-QUR’AN
A.
PENGERTIAN TAFSIR
Secara etimologis, tafsir berakar dari kata fassara-yufassiru-tafsiran,
berarti keterangan dan penjelasan. Sebagaimana dalam firman Allah SWT:
وَلاَ يَأٌتُوْ نَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ باِلْحَقِّ وَأَحْسَنَ
تَفْسِيرًا (۳۳)
“Tidaklah orang-orang kafir itu
datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melaiknkan Kami datangkan
kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS.
Al-Furqon 25:13)
Dengan demikian tafsir berarti kasyfu
al-murad’an al-lafzh al-musykil (menyingkap dari kata yang sulit). Dari
segi terminologis:
1.
Abu Hayyan
Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan
lafazh-lafazh Al-Qur’an dan makna dari lafazh-lafazh tersebut.
2.
Az-Zarkasyi
Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan
hikmahnya.
3.
Az-Zarqani
Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an Al-Karim dari
segi makna yang terkandung didalamnya sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh
Allah SWT sebatas kemampuan manusia.
Secara terminologis tafsir adalah
keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam
menafsirkan Al-Qur’an para mufasir juga dipengaruhi oleh latar belakang
pendidikan, sosial budaya yang berbeda-beda, sehingga bentuk, metode dan corak
penafsiran mereka juga berbeda-beda. Ada dua bentuk penafsiran, yaitu at-tafsir
bi al-ma’tsur dan at-tafsir bi ar-ra’yi,dan empat metode yaitu ijmali,
tahlili, muqarin dan maudhu’i. Dari segi corak lebih beragam, ada
yang bercorak sastra bahasa, fiqh, teologi, filsafat, tasawuf, ilmiyah dan
corak sastra budaya kemasyarakatan.
B.
SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para sahabat pertama-tama
menelitinya dalam Al-Qur’an sendiri. Kedua, merujuk kepada penafsiran
Nabi Muhammad SAW. Ketiga, apabila mereka tidak menemukan keterangan
tentang ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak sempat menanyakannya kepada
Raulullah SAW, para sahabat berijtihad dengan bantuan pengetahuan bahasa arab.
Yang terakhir, sebagian sahabat ada pula yang menanyakan beberapa
masalah khususnya sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam
Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh Ahlul Kitab yang telah memeluk agama Islam.
Sesudah periode sahabat, generasi berikutnya (tabi’in) meneruskan
usaha yang telah dirintis oleh para sahabat. Disamping menafsirkan Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an dan HaditsNabi, mereka juga merujuk pada penafsiran para
sahabat dan sebagian juga tidak lupa mengutip dari ahlul kitab. Setelah itu
baru mereka mengembangkan penafsiran sendiri berdasarkan ijtihad.
Sesudah masa sahabat dan tabi’in datanglah masa kodifikasi (tadwin)
hadits dimana riwayat-riwayat berisi tafsir dikelompokkan menjadi satu bab
sendiri, walaupun belum sistematis seperti susunan Al-Qur’an dalam perkembangan
selanjutnya tafsir dipisahkan dari kandungan kitab hadits dan menjadi kitab
sendiri. Riwayat-riwayat yang dikumpulkan sudah mencakup keseluruhan ayat
Al-Qur’an dan disusun sesuai dengan sistematika mushaf. Bentuk penafsiran yang
dirintis Ibn Jarir dan mufasir lain pada masa awal pembukuan tafsir inilah yang
kemudian dikenal dengan bentuk at-tafsir bi al-ma’tsur.
Pada masa Daulah ‘Abbasiyah, para mufasir tidak puas hanya dengan
bentuk bi al-ma’tsur, kemudian dikenal dengan at-tafsir bi ar-ra’yi. Dengan
at-tafsir bi ar-ra’yi seorang mufasir menafsirkan ayat Al-Qur’an
menggunakan kemampuan ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan Hadits dan tidak pula meninggalkan sama
sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in.
C.
BENTUK, METODE DAN CORAK TAFSIR
1.
Bentuk Penafsiran Al-Qur’an
a.
Tafsir bi al-ma’tsur
Tafsir
ini menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan sunnah Nabi dan
Al-Qur’an dengan pendapat atau penafsiran para sahabat Nabi dan tabi’in.
Dinamai dengan bi al-ma’tsur karena dalam menafsirkan Al-Qur’an, seorang
mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya
terus sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Contoh tafsit Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
atau ayat dengan ayat dalam firman Allah dalam Surat Al-An’am ayat 82
ditafsirkan oleh Surat Luqman ayat 13.
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ
لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ (۸۲)
“orang-orang yang
beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),
mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am 6:82)
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لاِبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لاَ
تُشْرِكْ بِاللهِ إِنَّ الشَّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (۱۳)
“Dan
(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran
kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman 31:13)
Kezaliman yang dimaksud dalam ayat
tersebut, bukanlah seperti yang dipahami mereka, tetapi seperti yang
dimaksudkan oleh hamba Allah yang saleh yaitu Luqman: “...Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.
Contoh tafsir Al-Qur’an dengan
hadits Nabi adalah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Jarir dan
lain-lain dari ‘Adi bin Hatim, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah SAW
tentang firman Allah SWT: ghairil maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin, Nabi
menjelaskan bahwa ghairil maghdhubi ‘alaihim adalah Yahudi, dan wa
la adh-dhallin adalah Nashara.
Kemudian tafsir Al-Qur’an dengan pendapat atau ijtihad para
sahabat. Apabila mereka tidak menemukan keterangan tentang ayat tertentu dalam
Al-Qur’an dan tidak sempat menanyakannya pada Rasulullah SAW, mereka berijtihad
dengan bantuan pengetahuan bahasa arab. Dan dengan menggunakan kekuatan
penalaran mereka sendiri. Baru yang terakhir, sebagian sahabat ada pula
menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah dalam
Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh Ahlul Kitab.
b.
Tafsir bi ar-Ra’yi
Tafsir
bi ar-ra’yi adalah menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan
kemampuan ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an atau dengan hadits dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran
para sahabat dan tabi’in. Dinamai dengan at-tafsir bi ar-ra’yi karena yang dominan memang penalaran atau
ijtihad mufasir itu sendiri.ada beberapa ilmu yang harus dikuasai oleh seorang
mufasir apabila akan melakukan tafsir bi ar-ra’yi: 1. Ilmu bahasa arab; 2. Ilmu
nahwu; 3. Ilmu sharf; 4. Ilmu isytiqaa; 5. Ilmu balaghah; 6. Ilmu qiraat; 7.
Ilmu ushuluddin; 8. Ilmu ushul fiqh; 9. Ilmu asbabun nuzul; 10. Ilmu
kisah-kisah; 11. Ilmu nasikh dan mansukh; 12. Ilmu hadits yang dapat
menjelaskan mujmal dan mubham; 13. Ilmu mauhibah.
2. Metode Penafsiran
Al-Qur’an
Dari segi metode sejauh ini dikenal ada empat metode penafsiran
yaitu ijmali, tahlili, muqarin, dan maudhu’i.
a.
Metode Ijmali
Metode ijmali
adalah metode yang paling awal muncul karena sudah digunakan sejak Nabi dan
para sahabat. Dengan metode ijmali, seorang mufasir mentafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an secara ringkas, mulai dari ayat pertama sampai ayat terakhir sesuai
dengan susunan ayat dan surat di dalam mushaf dengan bahasa yang populer dan
mudah dimengerti. Contoh terbaik untuk kitab tafsir yang menggun, akan metode
ini antara lain: 1. Muhammad Farid Wajdi, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, 2. Jalal
ad-Din Abu al-Fadhl ‘Abd ar-Rahman ibn Abi Bakr as-Suyuthi (w. 911 H) dan Jalal
ad-Din Muhammad ibn Ahmad al-Muhalli (w. 864 H), Tafsir al-Jalalain.
b.
Metode Tahlili
Setelah metode
ijmali, dikenal metode tahlili. Dengan menggunakan metode ini, seorang mufasir
berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai aspek bahasa,
asbab an-nuzul, munasabah, dan aspek lain yang memungkinkan sesuai dengan minat
dan kecenduran itu sendiri. Contoh kitab-kitab dari kedua bentuk itu sudah
banyak disebut sebelumnya sehingga tidak perlu lagi disebutkan pada bagian ini.
c.
Metode Muqarin
Dengan metode
ini seorang mufasir melakukan perbandingan antara 1. Teks ayat-ayat al-Qur’an
yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau
memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; 2. Ayat-ayat
Al-Qur’andengan hadist pada lahirnya terlihat bertentangan; dan 3. Berbagai
pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an. Contoh kitab tafsir dengan
metode ini adalah 1. Al-Khathib al-Iskafi (w.240 H), Durrah at-Tanzil wa
Ghurrah at-Ta’wil; dan 2. Taj al-Qurra al-Karmani (w. 505 H), al-Burhan fi
Taujih Mutasyabah Al-Qur’an.
d.
Metode Maudhu’i
Dengan metode
ini seseorang mufasir menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,
mengkompromikan antara pengertian yang ‘am dan khash, antara yang muthlaq dan
yang muqayyad, mensinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif,
menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada
satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap
sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat. Contoh kitab tafsir
antara lain; 1. ‘Abbas al-‘Aqqad, al-Mar’ah fi Al-Qur’an; 2. Abu al-‘Ala
al-Maududi, ar-Riba fi Al-Qur’an.
3. Corak Penafsiran Al-Qur’an
Sejauh ini, corak
penafsiran yang dikenal antara lain sebagai berikut:
a.
Corak
Sastra Bahasa
b.
Corak
Fikih atau Hukum
c.
Corak
Teologi dan atau Filsafat
d.
Corak
Tasawuf
e.
Corak
Penafsiran Ilmiah
f.
Corak
Sastra Budaya Kemasyarakatan
D. KITAB-KITAB BERBAHASA INDONESIA
Sejak pertiga awal
abad XX di Indonesia telah lahir berbagai karya berbahasa Indonesia tentang
Al-Qur’an dengan beberapa anotasi dimana perlu maupun dalam bentuk tafsir
Al-Qur’an sebagian atau keseluruhannya.
Dalam bentuk
terjemahan Al-Qur’an dengan beberapa anotasi dimana perlu antara lain:
1.
Mahmud
Yunus, Tafsir Al-Qur’an al-Karim (1930);
2.
A.
Halim Hasan, Zainal Arifin Abbas dan Abdur Rahim Haitami, Tafsir al-Qur’an
Al-Krim (1955);
3.
Zainuddin
Hamidy dan Hs. Fachruddin, Tafsir Qur’an (1959);
4.
Bachtiar
Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an (1978);
5.
Oemar
Bakry, Tafsir Rahmat (1983)
6.
Team
Penerjemah Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya(1975).
Dalam bentuk
tafsir Al-Qur’an sebagian atau keseluruhannya, antara lain:
1.
Abdul
Karim Amrullah, Al-Burhan, Tafsir Juz ‘Amma (1922);
2.
Ahmad
Hassan, Al-Hidayah, Tafsir Juz ‘Amma (1930);
3.
M.
Hashbi ash-Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur (1952);
4.
HAMKA,
Tafsir Al-Azhar (1982);
5.
Team
Penafsir Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya (1995);
6.
M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an
(2000).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar