Senin, 04 Mei 2015

Hukum dan Hadist Tentang Menggerakkan Jari Telunjuk Saat Duduk Tasyahud

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kebanyakkan dari kita keliru dengan perbuatan menggerakkan jari telunjuk di dalam solat. Ternyata terdapat berbagai gerakan dan gaya yang ditampilkan. Lantaran itu, isu ini hangat diperkatakan. Baik dikalangan bangsa arab maupun dikalangan kita. Ternyata kita masih samar-samar dalam mencari jawabannya. Apakah kedudukan hukum yang sebenarnya. Apakah pandangan mazhab kita dan mazhab-mazhab empat dalam masalah ini.
Sebenarnya isu ini bertaraf permasalahan ranting fiqhiyyah. Yaitu antara afdhal dan tidak afdhal saja. Maksudnya setiap individu diberi pilihan untuk menggerakkan jari telunjuk ketika bertasyahhud atau tidak. Jika dilakukan seseorang itu akan mendapat tambahan pahala. Dan jika tidak dilakukan tidak mengapa. Inilah nilai estetika syariat yang bersifat fleksibel dalam kelasnya tersendiri.
Tambahan pula, terdapat berbagai isu yang lebih besar perlu diutamakan. Jika kita hanya berkisar pada daerah isu yang kecil maka hasilnya tak sampai ke mana. Dan kita seperti bergerak dalam kehilangan arah tuju.
Isu ini merupakan isu yang baru berlaku. Ia mula berawal di zaman kita apabila Syeikh Nasiruddin Al-Albaani di dalam kitabnya Sifatus Solah An-Nabi[1] mendakwa disunatkan menggerakkan jari terlunjuk ketika bertasyahhud secara berterusan sehingga salam dan selesainya solat. Beliau mendakwa perbuatan seperti inilah yang sunnah dan sunat sebenarnya. Manakala perbuatan selainnya dikatakan tidak sunnah.
Malangnya, ada sesetengah pihak begitu keras menuduh sebagian dari kita yang tidak melakukan amalan di atas (sebagaimana mereka) sebagai pembuat bid’ah yang sesat. Dan layak dimasukkan ke dalam neraka kerana dikatakan tidak mengikuti jalan yang diajarkan oleh Rasulullah. Untuk itu kita akan menelusuri dakwaan beliau. Sekaligus menjawab menjawab kemusykilan ini. Dan haanya kepada Allah SWT kita memohon taufik dan pertolongan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pembahasan hukum dan hadits tentang menggerakkan jari telunjuk saat duduk tasyahud?

C.     Tujuan Makalah
1.      Mengetahui pembahasan hukum dan hadits tentang menggerakkan jari telunjuk saat duduk tasyahud.













BAB II
PEMBAHASAN
A.  Hukum dan Hadist Tentang Menggerakkan Jari Telunjuk Saat Duduk Tasyahud
Cara Dan Saat Memberi Isyarat Dengan Jari Telunjuk
Isyarat selama duduk tasyahud awal maupun tasyahud akhir, hanya dilakukan dengan satu jari tangan saja, yaitu jari telunjuk tangan kanan dengan sedikit membungkukkannya.
Nabi pernah melihat seorang sahabat berdo’a sambil mengacungkan dua jarinya, lalu sabdanya kepada orang itu: ‘Satu saja! Satu saja!’ [Seraya mengacungkan jari telunjuk].” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan An-Nasa’i disahkan oleh Hakim dan disetujui Dzahabi). Dari Numeir al-Khuza’i, katanya:
Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang duduk dalam shalat, beliau meletakkan tangan kanannya di atas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari telunjuknya, dengan membungkukkannya sedikit ketika berdoa.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang cukup baik).
Tentang bagaimana cara dan saat memberi isyarat dengan jari telunjuk tangan kanan tersebut, terdapat beberapa pendapat. Sebagian mengatakan bahwa jari telunjuk itu digerak-gerakkan, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa jari telunjuk itu tidak digerak-gerakkan. Sebagian mengatakan bahwa jari telunjuk tersebut digerak-gerakan secara terus menerus, sedangkan yang lain mengatakan hanya digerak-gerakkan pada saat tertentu saja.
Memberi Isyarat Dengan Menggerakkan Jari Telunjuk. Mereka yang berpendapat harus menggerakkan jari telunjuk, berdalil dengan hadits:
Dari Wail bin Hujr radhiyallahu anhu, dia berkata:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangan dan sikunya di atas pahanya, dan meletakkan kedua ujung jarinya di atas kedua lututnya, dengan posisi menggenggam jarinya dan membentuk lingkaran. Kemudian beliau mengangkat jari telunjuknya dan berdo’a sambil menggerakkannya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ad-Darimi, Ibnul Jarud, Ath-Thabarani, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Bahaqi dan Ibnul Jauzi)
(Gerakan jari telunjuk) lebih ditakuti setan daripada (pukulan) besi. (HR. Ahmad, Bazzar, Abu Ja’far, Bukhtari, Ath-Thabarani, Abdul Ghani Al-Muqaddasi, Rauyani dan Baihaqi) “Sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mengetahui perbuatan ini meniru perbuatan sahabat yang mengetahuinya, yaitu menggerakkan telunjuknya sambil mengucapkan do’a.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad hasan) “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggerakkan jari telunjuknya seraya berdo’a dengannya.” (HR. An-Nasa’i).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbuatan ini dalam dua tasyahudnya -tasyahud awal dan tasyahud akhir-.” (HR. An-Nasa’i dan Baihaqi dengan sanad shahih).
Menggerakkan Secara Terus Menerus Dari Awal Tasyahud.
Dalam kitabnya Fi Shifat Ash-Shalat, Syaikh Al-Albani berkata: “Disunnahkan untuk terus berisyarat dengan telunjuk dan menggerak-gerakannya sampai salam karena do’a dilaksanakan sebelum salam dan ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan yang lainnya,.” Dalam madzhab Imam Maliki, jari telunjuk digerakkan ke kiri dan ke kanan ketika duduk tasyahud hingga selesai shalat.
Menggerakkan Pada Waktu Berdoa. Sebagian ulama berpendapat bahwa menggerakkan jari telunjuk tidak dimulai dari awal tasyahud, akan tetapi dimulai dari awal do’a. Pendapat ini juga dipegang oleh Syaikh Ibnu Utsaimin. Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam bukunya Fatawa Arkanul Islam:
Menggerakkan jari telunjuk dilakukan pada waktu berdoa, bukan di semua waktu tasyahud. Jika kamu berdoa di waktu tasyahud, maka gerakkan jari telunjukmu, seperti yang dijelaskan dalam sebuah hadits, “Menggerakkannya seraya berdoa dengannya….”
….Tempat-tempat berdoa dalam tasyahud adalah:
“Assalamu ‘alaika ayyuha an-nabiyu wa rahmatullah wa barakatuhu. Assalamu ‘alaina wa ‘ala ibadillahi Ash-Shalihin. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad. Allahumma barik ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad. A’udzu billahi min ‘Adzabi Jahannam, wa min ‘adzabi al-qabr, wa min fitnati al-mahya wa al-mamat, wa min fitnati masihi ad-dajjal.”
Di delapan tempat itulah yang perlu kita gerakkan jari telunjuk kita ke arah langit. Di sunnahkan juga ketika berdoa di selain delapan tempat itu untuk mengangkatnya; karena kaidah umumnya adalah disunnahkan mengangkat jari telunjuk pada setiap doa.
Memberi Isyarat Dengan Tidak Menggerakkan Jari Telunjuk. Yang berpendapat tidak menggerakkan jari telunjuk berpegangan pada hadits: Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhu, dia berkata:
Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk dengan jari saat berdo’a dan tidak menggerakkannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban, hadits ini didhaifkan oleh syaikh Al-Albani). Dalam kitab Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abdullah bin Az-Zubair, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuknya ketika berdo’a dan tidak menggerakkannya. Tambahan hadits ini (dan tidak menggerakkannya) masih perlu ditinjau keshahihannya.”
Syaikh Muhammad Bayumi dalam kitab Akhthaa’ Al-Mushallin min At-Takbir ilaa At-Taslim, berasumsi bahwa tambahan tersebut (dan tidak menggerakkannya) menyimpang. Ini bisa dilihat dari:
Pertama, Muhammad bin ‘Ijlan tidak menetapkan hadits yang menyatakan, “Tidak adanya gerakan.” Kedua, pendapat Ibnu ‘Ijlan berseberangan dengan riwayat mereka yang tidak menyebutkan redaksi “Tanpa gerakan”. Mereka itu adalah Utsman bin Hakim, dan ‘Ashim bin Kulaib. ‘Ashim lebih tsiqah daripada Muhammad bin ‘Ijlan, seperti terlihat dari hasil terjemahannya dalam At-Tahzib.
Hadits-Hadits yang Menyatakan Jari Telunjuk Tidak Digerakkan Sama Sekali. Sepanjang pemeriksaan kami ada dua hadits yang menjelaskan hal tersebut.


Hadits Pertama
يُحَرِّكُهَ وَلاَ دَعَا  بِأُصْبِعِهِ  إِذَا  يُشِيْرُ كَانَ  وَسَلَّم عَلَيْه الله صَلَّى  أَنّ النَّبِيَّ
Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam beliau berisyarat dengan telunjuknya bila beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya no.989, An-Nasai dalam Al-Mujtaba 3/37 no.127, Ath-Thobarany dalam kitab Ad-Du’a no.638, Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/177-178 no.676. Semuanya meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair dari ayahnya ‘Abdullah bin Zubair… kemudian beliau menyebutkan hadits di atas.
Derajat Rawi-Rawi Hadits Ini sebagai Berikut:
Hajjaj bin Muhammad. Beliau rawi tsiqoh (terpercaya) yang tsabt (kuat) akan tetapi mukhtalit (bercampur) hafalannya diakhir umurnya, akan tetapi hal tersebut tidak membahayakan riwayatnya karena tidak ada yang mengambil hadits dari beliau setelah hafalan beliau bercampur. Baca : Al-Kawa kib An-Nayyirot, Tarikh Baghdad dan lain-lainnya. Ibnu Juraij. Nama beliau ‘Abdul Malik bin ‘Abdil ‘Aziz bin Juraij Al-Makky seorang rawi tsiqoh tapi mudallis akan tetapi riwayatnya disini tidak berbahaya karena beliau sudah memakai kata A khbarani (memberitakan kepadaku). Muhammad bin ‘Ajlan. Seorang rawi shoduq (jujur). ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair. Kata Al-Hafidz dalam Taqrib beliau adalah tsiqoh ‘abid (terpercaya, ahli ibadah). ‘Abdullah bin Zubair. Sahabat.
Derajat Hadits
Rawi-rawi hadits ini adalah rawi yang dapat dipakai berhujjah akan tetapi hal tersebut belumlah cukup menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang shohih atau hasan sebelum dipastikan bahwa hadits ini bebas dari ‘Illat (cacat) dan tidak syadz. Dan setelah pemeriksaan ternyata lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) ini adalah lafadz yang syadz. Sebelum kami jelaskan dari mana sisi syadznya lafadz ini, mungkin perlu kami jelaskan apa makna syadz menurut istilah para Ahlul Hadits. Syadz menurut pendapat yang paling kuat dikalangan Ahli Hadits ada dua bentuk :
• Pertama: Syadz karena seorang rawi yang tidak mampu bersendirian dalam periwayatan karena beberapa faktor.
• Syadz karena menyelisihi. Dan yang kami maksudkan disini adalah yang kedua. Dan pengertian syadz dalam bentuk kedua adalah
    مِنْه أَوْلَى لِمَن هُو مُخَالِفًا  الْمَقْبُوْلِ رِوَايَة
Riwayat seorang maqbul (yang diterima haditsnya) menyelisihi rawi yang lebih utama darinya”.
Maksud “rawi maqbul” adalah rawi derajat shohih atau hasan. Dan maksud “rawi yang lebih utama” adalah utama dari sisi kekuatan hafalan, riwayat atau dari sisi jumlah. Dan perlu diketahui bahwa syadz merupakan salah satu jenis hadits dho’if (lemah) dikalangan para ulama Ahli Hadits. Maka kami melihat bahwa lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) adalah lafadz yang syadz tidak boleh diterima sebab ia merupakan kekeliruan dan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan kami menetapkan bahwa ini merupakan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajl an karena beberapa perkara :
1. Muhammad bin ‘Ajl an walaupun ia seorang rawi hasanul hadits (hasan hadits) akan tetapi ia dikritik oleh para ulama dari sisi hafalannya.
2. Riwayat Muhammad bin ‘Ajl an juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dan dalam riwayat tersebut tidak ada penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) .
3. Empat orang tsiqoh (terpercaya) meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Ajl an dan mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Empat rawi tsiqoh tersebut adalah :
a. Al-Laits bin Sa’ad, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133 dan Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/131.
b. Abu Kha lid Al-Ahmar, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar Ashabul Hadits hal.62, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/370 no.1943, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194, Ad-Daraquthny dalam Sunannya 1/349, dan Al-Baihaqy 2/131, ‘Abd bin Humaid no.99.
c. Yahya bin Sa’id Al-Qothth on, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud no.990, An-Nasai 3/39 no.1275 dan Al-Kubro 1/377 no.1198, Ahmad 4/3, Ibnu Khuzaimah 1/350 no.718, Ibnu Hibban no.1935, Abu ‘Awanah 2/247 dan Al-Baihaqy 2/132.
d. Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ad-Darimy no.1338 dan Al-Humaidy dalam Musnadnya 2/386 no.879.
e. Demikianlah riwayat empat rawi tsiqoh tersebut menetapkan bahwa riwayat sebenarnya dari Muhammad bin ‘Ajlan tanpa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Akan tetapi, Muhammad bin ‘Ajlan dalam riwayat Ziyad bin Sa’ad keliru lalu menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
4. Ada tiga orang rawi yang juga meriwayatkan dari ‘ Amir bin ‘Abdullah bin Zubair sebagaimana Muhammad bin ‘Ajlan juga meriwayatkan dari ‘Amir ini akan tetapi tiga orang rawi tersebut tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) , maka ini menunjukkan bahwa Muhammad bin ‘Ajlan yang menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) telah menyelisihi tiga rawi tsiqoh tersebut, oleh karenanya riwayat mereka yang didahulukan dan riwayat Muhammad bin ‘Ajlan dianggap syadz karena menyelisihi tiga orang tersebut. Tiga orang ini adalah :
a. ‘Utsman bin Hakim, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim no.112, Abu Daud no.988, Ibnu Khuzaimah 1/245 no.696, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194-195 dan Abu ‘Aw anah 2/241 dan 246.
b. Ziyad bin Sa’ad, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/386 no.879.
c. Makhromah bin Bukair, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nas ai 2/237 no.1161 dan Al-Baihaqy 2/132.
Maka tersimpul dari sini bahwa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dalam hadits ‘Abdullah bin Zubair adalah syadz dan yang menyebabkan syadznya adalah Muhammad bin ‘Ajlan. Walaupun sebenarnya kesalahan ini bisa berasal dari Ziyad bin Sa’ad atau Ibnu Juraij akan tetapi qorinah (indikasi) yang tersebut di atas sangat kuat menunjukkan bahwa kesalahan tersebut berasal dari Muhammad bin ‘Ajl an. Wallahu A’lam.
Hadits Yang Kedua
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَيُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ وَلاَ يُحَرِّكُهَا وَيَقُوْلُ إِنَّهَا مُذِبَّةُ الشَّيْطَانِ وَيَقُوْلُكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عََلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam mengerjakannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448 dari jalan Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu Hibban.
Derajat Hadits
Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti`u katsiran (jujur tapi sangat banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama. Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini.
Pertama: Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi tersebut adalah :
1. Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththo’ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176no.675.
2. Isma‘il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.
3. Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu Abdil Bar 131/26.
4. Yahya bin Sa’ id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.
5. Wuhaib bin Kh alid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.6. ‘Abdul ‘Azi z bin Muhammad Ad-Darawardy,   riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.
7. Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.
Kedua : Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :
a. Enam rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidakmenyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) .
 b.  Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany : ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-’Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) . Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobara ny dalam Ad-Du’a no.635. Seluruh hadits yang menerangkan jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali adalah hadits yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah .
Syakir Jamaluddin, M.A. dalam bukunya Shalat Sesuai Tuntunan Nabi SAW mengatakan bahwa hadist menunjuk dalam tahiyyat, tidak ada hadist dari nabi yang secara tegas menjelaskan kapan waktu menunjuk atau menggerakkan telunjuk kecuali disebut saat berdo’a. Ada yang berpendapat bahwa menggerakkan telunjuk satu kali pada saat tasyahud ketika dalam syahadat menyebut Illa-llah (kecuali hanya Allah) sebagai oerlambang tauhid yakni mengesakan Allah SWT lalu berdoa. Hanya saja hingga saat ini, penulis tetap tidak menemukan redaksi hadist yang menyebutkan demikian, kecuali menunjuk saat berdoa. Bisa jadi pada saat berdoa as-salamu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu...., atau bisa jadi pula saat berdoa Allahumma soli’ala muhammad..., bahkan bisa jadi saat mulai berdoa attahiyatu... . sebab satu-satunya riwayat yang menjelaskan waktu menunjuk adalah hadist gharib riwayat al-baihaqi yang disandarkan al-Qasim bin Muhammad kepada ‘aisyah ra bahwa: “Pernah ‘aisyah mengajarkan kami tasyahud, dan menunjuk dengan tangannya sambil berdoa: Attahiyyatu-thayibatush-salawatus-zakiyatu lillah, assalamu ‘alan-nabiyyi...”[2]
Hanya saja hadist al-Baihaqi ini pun agak bermasalah disamping karena ketidakjelasan pada abu Ali Al-Husayn, juga karena riwayat ini mauquf yakni hanya sampai ‘aisyah ra. Tetapi isyarat dari hadist shohih bahwa Nabi SAW ketika duduk tasyahud menggenggam jari-jarinya lalu membuat lingkaran kemudian mengangkat telunjuknya (HSR. Muslim), menunjukkan beliau mengangkat  jari telunjuk dari awal tasyahud sampai akhir. Mengenai menggerak-gerakkan telunjuk saat tahiyyat, memang ada hadist yang berasal dari Wa’il yang berbunyi: “Kemudian beliau mengangkat telunjuknya lalu aku melihat beliau menggerak-gerakkannya untuk berdoa dengannya.” (HR. Al-Nasa’i, Ahmad, dari Wa’il bin Hujr ra).[3]
Tetapi hadist yang lebih kuat yaitu dari Abdullah bin Al-Zubayr bahwa nabi tidak menggerak-gerakkan telunjuk saat berdoa berbunyi: “Beliau menunjuk dengan telunjuknya ketika berdoa, dan tidsk menggerak-gerakkannya” (HSR. Al-Nasai, Abu Dawud, dari Abdullah bin Al-Zubair)[4] Jika langsung menggunakan metode tarjih, maka hadist yang tidak menggerak-gerakkanlah yang harus dipegangi, sedangkan hadist yang menggerak-gerakkan karena kontroversial dan bermasalah (yakni: syadz: menyimpang) ditinggalkan. Tetapi sebagian ulama tetap berupaya mengkompromikan kedua hadist tersebut. 
Al-Baihaqi berusaha mengkompromikan hadist ini dengan membahas makna yukharikuha dalam hadist Wa’il yang tidak selalu bermakna lit-tikrar (untuk pengulangan). Sehingga berarti menggerak-gerakkannya, tapi bisa juga berarti menggerakkannya saja yakni untuk menunjuk. Jika diartikan demikian maka menurut Al-Baihaqi sudah tidak lagi bertentangan dengan hadist tidak menggerakkan telunjuknya riwayat Abdullah bin Al-Zubair[5] Dari beberapa keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa setelah dududk dengan tenang, nabi menggerakkan telunjuknya untuk menunjuk satu kali diawal duduk saat mulai membaca tasyahud: Attahiyyatu...., namun tidak menngerak-gerakannya secara keseluruhan karena disamping hadistnya syadz (menyimpang sendiri) juga menyalahi prinsip tuma’ninah (tenang) dalam shalat.








BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Para ulama berselisih dalam masalah ini. Kebanyakan ulama memilih pendapat jari telunjuk tidak digerakkan pada saat isyarat tasyahud dikarenakan hadits Wail bin Hujr radhiallahu ‘anhu riwayat Al Baihaqi (2615) tentang menggerakkan jari pada saat tasyahud itu adalah hadits syadz dari jalur Zaidah bin Qudamah. Ibnu Khuzaimah dan Al Baihaqi juga mengisyaratkan tentang kesyadzan hadits ini.
Hadits ini menyelisihi riwayat-riwayat lain yang lebih shahih yang tidak menerangkan tentang adanya penggerakan jari telunjuk pada saat duduk tasyahud tersebut. Bahkan ada riwayat yang lebih jelas yang menerangkan tentang hal ini dari Abdullah ibnu Az Zubair radhiallahu ‘anhu yang menerangkan bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم memberikan isyarat dengan telunjuknya ketika berdoa (di waktu tasyahud) dan tidak menggerakkannya. Atsar ini diriwayatkan oleh Abu Daud (989) dan An Nasa`i (888) dengan sanad yang hasan.
Akan tetapi, itu semua adalah ijtihad karena tidak adanya dalil yang secara tegas menyebutkan hal ini, sehingga antara satu ulama dengan ulama lainnya sangat mungkin berbeda pandangan. Selama dalil yang sangat teknis tidak atau belum secara spesifik menegaskannya, maka pintu ijtihad lengkap dengan perbedaannya masih sangat terbuka luas. Dan tidak ada orang yang berhak menyalahkan pendapat orang lain, selama masih di dalam wilayah ijtihad. Pendeknya, yang mana saja yang ingin kita ikuti dari ijtihad itu, semua boleh hukumnya asal semuanya sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad s.a.w. Wallahu a’lam bishshawab.


DAFTAR PUSTAKA

Jamaluddin, Syakir.2008.Shalat Sesuai Tuntunan Nabi saw.Yogyakarta: LPPI UMY.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis Tarjih. 2009. Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta: Gramasurya.



                                             
[1] Buku karangan Syeikh al-Baani ini telah diterjemahkan ke dalam edisi Bahasa Melayu oleh Us Abdullah Qari Hj Salleh dan Us Hussien Yee dan lain-lain berjudul “Ciri-ciri Solat Nabi SAW.
[2]HR. Al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, juz 2 hlm 144.
[3]HR. Al-Nasa’i: 889, 1268; Ahmad: 18391, 18890; al-Darimi: 1357; Ibn Hibban: 1860, melalui ‘Ashim bin Kulayb bin Syihab dari Bapaknya, dari Wa’il bin Hujr.
[4]HSR. Al-Nasa’i: 1270; Abu Dawud: 989; al-Bayhaqi: 2615; Abd al-Razzaq: 3242, dari Abdullah bin al-Zubayr ra.

[5]Al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, juz 2, hlm 131-132.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar