BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebanyakkan
dari kita keliru dengan perbuatan menggerakkan jari telunjuk di dalam solat.
Ternyata terdapat berbagai gerakan dan gaya yang ditampilkan. Lantaran itu, isu
ini hangat diperkatakan. Baik dikalangan bangsa arab maupun dikalangan kita.
Ternyata kita masih samar-samar dalam mencari jawabannya. Apakah kedudukan
hukum yang sebenarnya. Apakah pandangan mazhab kita dan mazhab-mazhab empat
dalam masalah ini.
Sebenarnya
isu ini bertaraf permasalahan ranting fiqhiyyah. Yaitu antara afdhal dan tidak
afdhal saja. Maksudnya setiap individu diberi pilihan untuk menggerakkan jari
telunjuk ketika bertasyahhud atau tidak. Jika dilakukan seseorang itu akan
mendapat tambahan pahala. Dan jika tidak dilakukan tidak mengapa. Inilah nilai
estetika syariat yang bersifat fleksibel dalam kelasnya tersendiri.
Tambahan
pula, terdapat berbagai isu yang lebih besar perlu diutamakan. Jika kita hanya
berkisar pada daerah isu yang kecil maka hasilnya tak sampai ke mana. Dan kita
seperti bergerak dalam kehilangan arah tuju.
Isu ini
merupakan isu yang baru berlaku. Ia mula berawal di zaman kita apabila Syeikh
Nasiruddin Al-Albaani di dalam kitabnya Sifatus Solah An-Nabi[1] mendakwa
disunatkan menggerakkan jari terlunjuk ketika bertasyahhud secara berterusan
sehingga salam dan selesainya solat. Beliau mendakwa perbuatan seperti inilah
yang sunnah dan sunat sebenarnya. Manakala perbuatan selainnya dikatakan tidak
sunnah.
Malangnya, ada sesetengah pihak begitu keras menuduh sebagian dari kita yang tidak melakukan amalan di atas (sebagaimana mereka) sebagai pembuat bid’ah yang sesat. Dan layak dimasukkan ke dalam neraka kerana dikatakan tidak mengikuti jalan yang diajarkan oleh Rasulullah. Untuk itu kita akan menelusuri dakwaan beliau. Sekaligus menjawab menjawab kemusykilan ini. Dan haanya kepada Allah SWT kita memohon taufik dan pertolongan.
Malangnya, ada sesetengah pihak begitu keras menuduh sebagian dari kita yang tidak melakukan amalan di atas (sebagaimana mereka) sebagai pembuat bid’ah yang sesat. Dan layak dimasukkan ke dalam neraka kerana dikatakan tidak mengikuti jalan yang diajarkan oleh Rasulullah. Untuk itu kita akan menelusuri dakwaan beliau. Sekaligus menjawab menjawab kemusykilan ini. Dan haanya kepada Allah SWT kita memohon taufik dan pertolongan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pembahasan hukum dan hadits tentang menggerakkan jari telunjuk saat duduk
tasyahud?
C.
Tujuan Makalah
1.
Mengetahui
pembahasan hukum dan hadits tentang menggerakkan jari telunjuk saat duduk
tasyahud.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hukum dan Hadist Tentang Menggerakkan Jari Telunjuk Saat Duduk
Tasyahud
Cara Dan Saat Memberi Isyarat Dengan Jari Telunjuk
Isyarat selama duduk tasyahud awal maupun tasyahud akhir, hanya dilakukan dengan satu jari tangan saja, yaitu jari telunjuk tangan kanan dengan sedikit membungkukkannya.
Isyarat selama duduk tasyahud awal maupun tasyahud akhir, hanya dilakukan dengan satu jari tangan saja, yaitu jari telunjuk tangan kanan dengan sedikit membungkukkannya.
“Nabi
pernah melihat seorang sahabat berdo’a sambil mengacungkan dua jarinya, lalu sabdanya
kepada orang itu: ‘Satu saja! Satu saja!’ [Seraya mengacungkan jari telunjuk].”
(HR. Ibnu Abi Syaibah dan An-Nasa’i disahkan oleh Hakim dan disetujui Dzahabi).
Dari Numeir al-Khuza’i, katanya:
“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang duduk dalam shalat, beliau meletakkan tangan kanannya di atas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari telunjuknya, dengan membungkukkannya sedikit ketika berdoa.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang cukup baik).
“Saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedang duduk dalam shalat, beliau meletakkan tangan kanannya di atas pahanya yang kanan sambil mengangkat jari telunjuknya, dengan membungkukkannya sedikit ketika berdoa.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang cukup baik).
Tentang
bagaimana cara dan saat memberi isyarat dengan jari telunjuk tangan kanan
tersebut, terdapat beberapa pendapat. Sebagian mengatakan bahwa jari telunjuk
itu digerak-gerakkan, sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa jari telunjuk itu
tidak digerak-gerakkan. Sebagian mengatakan bahwa jari telunjuk tersebut
digerak-gerakan secara terus menerus, sedangkan yang lain mengatakan hanya
digerak-gerakkan pada saat tertentu saja.
Memberi Isyarat Dengan Menggerakkan Jari Telunjuk. Mereka yang berpendapat harus menggerakkan jari telunjuk, berdalil
dengan hadits:
Dari
Wail bin Hujr radhiyallahu anhu, dia berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangan dan sikunya di atas pahanya, dan meletakkan kedua ujung jarinya di atas kedua lututnya, dengan posisi menggenggam jarinya dan membentuk lingkaran. Kemudian beliau mengangkat jari telunjuknya dan berdo’a sambil menggerakkannya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ad-Darimi, Ibnul Jarud, Ath-Thabarani, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Bahaqi dan Ibnul Jauzi)
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan kedua tangan dan sikunya di atas pahanya, dan meletakkan kedua ujung jarinya di atas kedua lututnya, dengan posisi menggenggam jarinya dan membentuk lingkaran. Kemudian beliau mengangkat jari telunjuknya dan berdo’a sambil menggerakkannya.” (HR. Ahmad, Bukhari, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ad-Darimi, Ibnul Jarud, Ath-Thabarani, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Bahaqi dan Ibnul Jauzi)
“(Gerakan
jari telunjuk) lebih ditakuti setan daripada (pukulan) besi. (HR.
Ahmad, Bazzar, Abu Ja’far, Bukhtari, Ath-Thabarani, Abdul Ghani Al-Muqaddasi,
Rauyani dan Baihaqi) “Sebagian sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang tidak mengetahui perbuatan ini meniru perbuatan sahabat yang
mengetahuinya, yaitu menggerakkan telunjuknya sambil mengucapkan do’a.”
(HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad hasan) “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menggerakkan jari telunjuknya seraya berdo’a dengannya.” (HR.
An-Nasa’i).
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan perbuatan ini dalam dua tasyahudnya
-tasyahud awal dan tasyahud akhir-.” (HR. An-Nasa’i dan Baihaqi dengan
sanad shahih).
Menggerakkan Secara Terus Menerus Dari Awal Tasyahud.
Dalam kitabnya Fi Shifat Ash-Shalat, Syaikh Al-Albani berkata: “Disunnahkan untuk terus berisyarat dengan telunjuk dan menggerak-gerakannya sampai salam karena do’a dilaksanakan sebelum salam dan ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan yang lainnya,.” Dalam madzhab Imam Maliki, jari telunjuk digerakkan ke kiri dan ke kanan ketika duduk tasyahud hingga selesai shalat.
Dalam kitabnya Fi Shifat Ash-Shalat, Syaikh Al-Albani berkata: “Disunnahkan untuk terus berisyarat dengan telunjuk dan menggerak-gerakannya sampai salam karena do’a dilaksanakan sebelum salam dan ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan yang lainnya,.” Dalam madzhab Imam Maliki, jari telunjuk digerakkan ke kiri dan ke kanan ketika duduk tasyahud hingga selesai shalat.
Menggerakkan Pada Waktu Berdoa. Sebagian
ulama berpendapat bahwa menggerakkan jari telunjuk tidak dimulai dari awal
tasyahud, akan tetapi dimulai dari awal do’a. Pendapat ini juga dipegang oleh
Syaikh Ibnu Utsaimin. Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam
bukunya Fatawa Arkanul Islam:
Menggerakkan
jari telunjuk dilakukan pada waktu berdoa, bukan di semua waktu tasyahud. Jika
kamu berdoa di waktu tasyahud, maka gerakkan jari telunjukmu, seperti yang
dijelaskan dalam sebuah hadits, “Menggerakkannya seraya berdoa
dengannya….”
….Tempat-tempat
berdoa dalam tasyahud adalah:
“Assalamu ‘alaika ayyuha an-nabiyu wa rahmatullah wa barakatuhu. Assalamu ‘alaina wa ‘ala ibadillahi Ash-Shalihin. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad. Allahumma barik ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad. A’udzu billahi min ‘Adzabi Jahannam, wa min ‘adzabi al-qabr, wa min fitnati al-mahya wa al-mamat, wa min fitnati masihi ad-dajjal.”
“Assalamu ‘alaika ayyuha an-nabiyu wa rahmatullah wa barakatuhu. Assalamu ‘alaina wa ‘ala ibadillahi Ash-Shalihin. Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad. Allahumma barik ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad. A’udzu billahi min ‘Adzabi Jahannam, wa min ‘adzabi al-qabr, wa min fitnati al-mahya wa al-mamat, wa min fitnati masihi ad-dajjal.”
Di
delapan tempat itulah yang perlu kita gerakkan jari telunjuk kita ke arah
langit. Di sunnahkan juga ketika berdoa di selain delapan tempat itu untuk
mengangkatnya; karena kaidah umumnya adalah disunnahkan mengangkat jari
telunjuk pada setiap doa.
Memberi Isyarat Dengan Tidak Menggerakkan Jari Telunjuk. Yang berpendapat tidak menggerakkan jari telunjuk berpegangan pada
hadits: Dari Abdullah bin Zubair radhiyallahu anhu, dia berkata:
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk dengan jari saat berdo’a dan tidak menggerakkannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban, hadits ini didhaifkan oleh syaikh Al-Albani). Dalam kitab Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abdullah bin Az-Zubair, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuknya ketika berdo’a dan tidak menggerakkannya. Tambahan hadits ini (dan tidak menggerakkannya) masih perlu ditinjau keshahihannya.”
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjuk dengan jari saat berdo’a dan tidak menggerakkannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Hibban, hadits ini didhaifkan oleh syaikh Al-Albani). Dalam kitab Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abdullah bin Az-Zubair, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat jari telunjuknya ketika berdo’a dan tidak menggerakkannya. Tambahan hadits ini (dan tidak menggerakkannya) masih perlu ditinjau keshahihannya.”
Syaikh
Muhammad Bayumi dalam kitab Akhthaa’ Al-Mushallin min At-Takbir ilaa At-Taslim,
berasumsi bahwa tambahan tersebut (dan tidak menggerakkannya) menyimpang. Ini
bisa dilihat dari:
Pertama, Muhammad bin ‘Ijlan tidak menetapkan hadits yang menyatakan, “Tidak adanya gerakan.” Kedua, pendapat Ibnu ‘Ijlan berseberangan dengan riwayat mereka yang tidak menyebutkan redaksi “Tanpa gerakan”. Mereka itu adalah Utsman bin Hakim, dan ‘Ashim bin Kulaib. ‘Ashim lebih tsiqah daripada Muhammad bin ‘Ijlan, seperti terlihat dari hasil terjemahannya dalam At-Tahzib.
Pertama, Muhammad bin ‘Ijlan tidak menetapkan hadits yang menyatakan, “Tidak adanya gerakan.” Kedua, pendapat Ibnu ‘Ijlan berseberangan dengan riwayat mereka yang tidak menyebutkan redaksi “Tanpa gerakan”. Mereka itu adalah Utsman bin Hakim, dan ‘Ashim bin Kulaib. ‘Ashim lebih tsiqah daripada Muhammad bin ‘Ijlan, seperti terlihat dari hasil terjemahannya dalam At-Tahzib.
Hadits-Hadits yang Menyatakan Jari Telunjuk Tidak Digerakkan Sama
Sekali. Sepanjang pemeriksaan kami ada dua hadits yang menjelaskan hal
tersebut.
Hadits Pertama
يُحَرِّكُهَ وَلاَ دَعَا بِأُصْبِعِهِ إِذَا يُشِيْرُ كَانَ وَسَلَّم عَلَيْه الله صَلَّى
أَنّ النَّبِيَّ
“Sesungguhnya Nabi Shalallahu ‘alaihi wasalam beliau berisyarat
dengan telunjuknya bila beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya no.989,
An-Nasai dalam Al-Mujtaba 3/37 no.127, Ath-Thobarany dalam kitab
Ad-Du’a no.638, Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/177-178 no.676.
Semuanya meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari
Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair dari ayahnya ‘Abdullah
bin Zubair… kemudian beliau menyebutkan hadits di atas.
Derajat Rawi-Rawi Hadits Ini sebagai Berikut:
Hajjaj bin Muhammad. Beliau rawi tsiqoh (terpercaya) yang tsabt
(kuat) akan tetapi mukhtalit (bercampur) hafalannya diakhir umurnya, akan
tetapi hal tersebut tidak membahayakan riwayatnya karena tidak ada yang
mengambil hadits dari beliau setelah hafalan beliau bercampur. Baca : Al-Kawa
kib An-Nayyirot, Tarikh Baghdad dan lain-lainnya. Ibnu Juraij. Nama beliau
‘Abdul Malik bin ‘Abdil ‘Aziz bin Juraij Al-Makky seorang rawi tsiqoh tapi
mudallis akan tetapi riwayatnya disini tidak berbahaya karena beliau sudah
memakai kata A khbarani (memberitakan kepadaku). Muhammad bin ‘Ajlan. Seorang
rawi shoduq (jujur). ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair. Kata Al-Hafidz dalam
Taqrib beliau adalah tsiqoh ‘abid (terpercaya, ahli ibadah). ‘Abdullah bin
Zubair. Sahabat.
Derajat Hadits
Rawi-rawi hadits ini adalah rawi yang dapat dipakai berhujjah akan
tetapi hal tersebut belumlah cukup menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits
yang shohih atau hasan sebelum dipastikan bahwa hadits ini bebas dari ‘Illat
(cacat) dan tidak syadz. Dan setelah pemeriksaan ternyata lafadz laa
yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) ini adalah lafadz yang syadz. Sebelum kami
jelaskan dari mana sisi syadznya lafadz ini, mungkin perlu kami jelaskan apa
makna syadz menurut istilah para Ahlul Hadits. Syadz menurut pendapat yang
paling kuat dikalangan Ahli Hadits ada dua bentuk :
• Pertama: Syadz
karena seorang rawi yang tidak mampu bersendirian dalam periwayatan karena
beberapa faktor.
• Syadz karena
menyelisihi. Dan yang kami maksudkan disini adalah yang kedua. Dan pengertian
syadz dalam bentuk kedua adalah
مِنْه أَوْلَى لِمَن هُو مُخَالِفًا الْمَقْبُوْلِ رِوَايَة
“Riwayat
seorang maqbul (yang diterima haditsnya) menyelisihi rawi yang lebih utama
darinya”.
Maksud
“rawi maqbul” adalah rawi derajat shohih atau hasan. Dan maksud “rawi yang
lebih utama” adalah utama dari sisi kekuatan hafalan, riwayat atau dari sisi
jumlah. Dan perlu diketahui bahwa syadz merupakan salah satu jenis hadits
dho’if (lemah) dikalangan para ulama Ahli Hadits. Maka kami melihat bahwa
lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) adalah lafadz yang syadz tidak
boleh diterima sebab ia merupakan kekeliruan dan kesalahan dari Muhammad bin
‘Ajlan dan kami menetapkan bahwa ini merupakan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajl
an karena beberapa perkara :
1. Muhammad bin ‘Ajl an walaupun ia
seorang rawi hasanul hadits (hasan hadits) akan tetapi ia dikritik oleh para
ulama dari sisi hafalannya.
2. Riwayat Muhammad bin ‘Ajl an juga
dikeluarkan oleh Imam Muslim dan dalam riwayat tersebut tidak ada
penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) .
3. Empat orang tsiqoh (terpercaya)
meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Ajl an dan mereka tidak menyebutkan
lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Empat rawi tsiqoh tersebut
adalah :
a. Al-Laits bin Sa’ad, riwayat dikeluarkan oleh
Muslim no.133 dan Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/131.
b. Abu Kha lid Al-Ahmar, riwayat dikeluarkan oleh
Muslim no.133, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar
Ashabul Hadits hal.62, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan
5/370 no.1943, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194, Ad-Daraquthny dalam
Sunannya 1/349, dan Al-Baihaqy 2/131, ‘Abd bin Humaid no.99.
c. Yahya bin Sa’id Al-Qothth on, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu
Daud no.990, An-Nasai 3/39 no.1275 dan Al-Kubro
1/377 no.1198, Ahmad 4/3, Ibnu Khuzaimah 1/350 no.718, Ibnu
Hibban no.1935, Abu ‘Awanah 2/247 dan Al-Baihaqy 2/132.
d. Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh
Ad-Darimy no.1338 dan Al-Humaidy dalam Musnadnya 2/386 no.879.
e. Demikianlah riwayat empat rawi tsiqoh tersebut menetapkan bahwa
riwayat sebenarnya dari Muhammad bin ‘Ajlan tanpa penyebutan lafadz laa
yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Akan tetapi, Muhammad bin ‘Ajlan dalam
riwayat Ziyad bin Sa’ad keliru lalu menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak
digerak-gerakkan).
4. Ada tiga
orang rawi yang juga meriwayatkan dari ‘ Amir bin ‘Abdullah bin Zubair
sebagaimana Muhammad bin ‘Ajlan juga meriwayatkan dari ‘Amir ini akan tetapi
tiga orang rawi tersebut tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak
digerak-gerakkan) , maka ini menunjukkan bahwa Muhammad bin ‘Ajlan yang
menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) telah menyelisihi
tiga rawi tsiqoh tersebut, oleh karenanya riwayat mereka yang didahulukan
dan riwayat Muhammad bin ‘Ajlan dianggap syadz karena menyelisihi tiga orang
tersebut. Tiga orang ini adalah :
a. ‘Utsman
bin Hakim, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim no.112, Abu
Daud no.988, Ibnu Khuzaimah 1/245 no.696, Ibnu Abdil Bar dalam
At-Tamhid 13/194-195 dan Abu ‘Aw anah 2/241 dan 246.
b. Ziyad bin Sa’ad, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy
2/386 no.879.
c. Makhromah bin Bukair, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nas
ai 2/237 no.1161 dan Al-Baihaqy 2/132.
Maka tersimpul dari sini bahwa
penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dalam hadits
‘Abdullah bin Zubair adalah syadz dan yang menyebabkan syadznya adalah Muhammad
bin ‘Ajlan. Walaupun sebenarnya kesalahan ini bisa berasal dari Ziyad bin Sa’ad
atau Ibnu Juraij akan tetapi qorinah (indikasi) yang tersebut di atas sangat
kuat menunjukkan bahwa kesalahan tersebut berasal dari Muhammad bin ‘Ajl an.
Wallahu A’lam.
Hadits Yang Kedua
عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَيَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَيُشِيْرُ بِأُصْبِعِهِ وَلاَ يُحَرِّكُهَا وَيَقُوْلُ إِنَّهَا مُذِبَّةُ الشَّيْطَانِ وَيَقُوْلُكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عََلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu
‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan
(meletakkan) tangan kirinya di atas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan
jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah
penjaga dari Syaithon”. Dan beliau berkata : “Adalah Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasalam mengerjakannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448
dari jalan Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu
Hibban.
Derajat Hadits
Seluruh rawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir
bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan
kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat
menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata : shoduq yukhti`u katsiran (jujur
tapi sangat banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa
dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama.
Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam
hadits ini.
Pertama: Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim
bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang
nyata, sebab tujuh rawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam
tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdirrahman
Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar. Tujuh rawi tersebut adalah :
1. Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththo’ 1/88,
Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai
3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193,
Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy
3/175-176no.675.
2. Isma‘il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan
oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu
Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.
3. Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim
1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no.648, Ibnu
Abdil Bar 131/26.
4. Yahya bin Sa’ id Al-Anshary, riwayatnya dikeluarkan oleh
Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu
Khuzaimah 1/352 no.712.
5. Wuhaib bin Kh alid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273
dan Abu ‘Awanah 2/243.6. ‘Abdul ‘Azi z bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy
2/287 no.648.
7. Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi
Hatim 1/108 no.292.
Kedua : Dalam
riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak
digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :
a. Enam rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka
tidakmenyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) .
b. Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany :
‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-’Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak
disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) . Baca riwayat
mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai
3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah
1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan
Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobara
ny dalam Ad-Du’a no.635. Seluruh hadits yang menerangkan jari telunjuk
tidak digerakkan sama sekali adalah hadits yang lemah tidak bisa dipakai
berhujjah .
Syakir Jamaluddin, M.A. dalam bukunya Shalat Sesuai Tuntunan Nabi
SAW mengatakan bahwa hadist menunjuk dalam tahiyyat, tidak ada hadist dari nabi
yang secara tegas menjelaskan kapan waktu menunjuk atau menggerakkan telunjuk
kecuali disebut saat berdo’a. Ada yang berpendapat bahwa menggerakkan telunjuk
satu kali pada saat tasyahud ketika dalam syahadat menyebut Illa-llah (kecuali
hanya Allah) sebagai oerlambang tauhid yakni mengesakan Allah SWT lalu berdoa.
Hanya saja hingga saat ini, penulis tetap tidak menemukan redaksi hadist yang
menyebutkan demikian, kecuali menunjuk saat berdoa. Bisa jadi pada saat berdoa
as-salamu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu...., atau bisa jadi pula saat berdoa Allahumma
soli’ala muhammad..., bahkan bisa jadi saat mulai berdoa attahiyatu... . sebab
satu-satunya riwayat yang menjelaskan waktu menunjuk adalah hadist gharib
riwayat al-baihaqi yang disandarkan al-Qasim bin Muhammad kepada ‘aisyah ra
bahwa: “Pernah ‘aisyah mengajarkan kami tasyahud, dan menunjuk dengan tangannya
sambil berdoa: Attahiyyatu-thayibatush-salawatus-zakiyatu lillah, assalamu
‘alan-nabiyyi...”[2]
Hanya saja hadist al-Baihaqi ini pun agak bermasalah disamping
karena ketidakjelasan pada abu Ali Al-Husayn, juga karena riwayat ini mauquf
yakni hanya sampai ‘aisyah ra. Tetapi isyarat dari hadist shohih bahwa Nabi SAW
ketika duduk tasyahud menggenggam jari-jarinya lalu membuat lingkaran kemudian
mengangkat telunjuknya (HSR. Muslim), menunjukkan beliau mengangkat jari telunjuk dari awal tasyahud sampai
akhir. Mengenai menggerak-gerakkan telunjuk saat tahiyyat, memang ada hadist
yang berasal dari Wa’il yang berbunyi: “Kemudian beliau mengangkat telunjuknya
lalu aku melihat beliau menggerak-gerakkannya untuk berdoa dengannya.” (HR.
Al-Nasa’i, Ahmad, dari Wa’il bin Hujr ra).[3]
Tetapi hadist yang lebih kuat yaitu dari Abdullah bin Al-Zubayr
bahwa nabi tidak menggerak-gerakkan telunjuk saat berdoa
berbunyi: “Beliau menunjuk dengan telunjuknya ketika berdoa, dan tidsk
menggerak-gerakkannya” (HSR. Al-Nasai, Abu Dawud, dari Abdullah bin
Al-Zubair)[4] Jika langsung menggunakan metode
tarjih, maka hadist yang tidak menggerak-gerakkanlah yang harus dipegangi,
sedangkan hadist yang menggerak-gerakkan karena kontroversial dan bermasalah
(yakni: syadz: menyimpang) ditinggalkan. Tetapi sebagian ulama tetap berupaya
mengkompromikan kedua hadist tersebut.
Al-Baihaqi berusaha mengkompromikan hadist ini dengan membahas
makna yukharikuha dalam hadist Wa’il yang tidak selalu bermakna
lit-tikrar (untuk pengulangan). Sehingga berarti menggerak-gerakkannya, tapi
bisa juga berarti menggerakkannya saja yakni untuk menunjuk. Jika diartikan
demikian maka menurut Al-Baihaqi sudah tidak lagi bertentangan dengan hadist
tidak menggerakkan telunjuknya riwayat Abdullah bin Al-Zubair[5] Dari beberapa keterangan diatas dapat disimpulkan
bahwa setelah dududk dengan tenang, nabi menggerakkan telunjuknya untuk
menunjuk satu kali diawal duduk saat mulai membaca tasyahud: Attahiyyatu....,
namun tidak menngerak-gerakannya secara keseluruhan karena disamping hadistnya
syadz (menyimpang sendiri) juga menyalahi prinsip tuma’ninah (tenang) dalam
shalat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Para ulama berselisih dalam masalah ini. Kebanyakan ulama memilih pendapat
jari telunjuk tidak digerakkan pada saat isyarat tasyahud dikarenakan hadits
Wail bin Hujr radhiallahu ‘anhu riwayat Al Baihaqi (2615) tentang menggerakkan
jari pada saat tasyahud itu adalah hadits syadz dari jalur Zaidah bin Qudamah.
Ibnu Khuzaimah dan Al Baihaqi juga mengisyaratkan tentang kesyadzan hadits ini.
Hadits ini menyelisihi riwayat-riwayat lain yang lebih shahih yang tidak
menerangkan tentang adanya penggerakan jari telunjuk pada saat duduk tasyahud
tersebut. Bahkan ada riwayat yang lebih jelas yang menerangkan tentang hal ini
dari Abdullah ibnu Az Zubair radhiallahu ‘anhu yang menerangkan bahwa
Rasulullah صلى الله عليه وسلم memberikan
isyarat dengan telunjuknya ketika berdoa (di waktu tasyahud) dan tidak
menggerakkannya. Atsar ini diriwayatkan oleh Abu Daud (989) dan An Nasa`i (888)
dengan sanad yang hasan.
Akan
tetapi, itu semua adalah ijtihad karena tidak adanya dalil yang secara tegas
menyebutkan hal ini, sehingga antara satu ulama dengan ulama lainnya sangat
mungkin berbeda pandangan. Selama dalil yang sangat teknis tidak atau belum
secara spesifik menegaskannya, maka pintu ijtihad lengkap dengan perbedaannya
masih sangat terbuka luas. Dan tidak ada orang yang berhak menyalahkan
pendapat orang lain, selama masih di dalam wilayah ijtihad. Pendeknya, yang
mana saja yang ingin kita ikuti dari ijtihad itu, semua boleh hukumnya asal
semuanya sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad s.a.w. Wallahu a’lam bishshawab.
DAFTAR PUSTAKA
Jamaluddin, Syakir.2008.Shalat
Sesuai Tuntunan Nabi saw.Yogyakarta: LPPI UMY.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah Majelis
Tarjih. 2009. Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah. Yogyakarta:
Gramasurya.
[1] Buku
karangan Syeikh al-Baani ini telah diterjemahkan ke dalam edisi Bahasa Melayu
oleh Us Abdullah Qari Hj Salleh dan Us Hussien Yee dan lain-lain berjudul
“Ciri-ciri Solat Nabi SAW.
[2]HR.
Al-Bayhaqi, al-Sunan al-Kubra, juz 2 hlm 144.
[3]HR.
Al-Nasa’i: 889, 1268; Ahmad: 18391, 18890; al-Darimi: 1357; Ibn Hibban: 1860,
melalui ‘Ashim bin Kulayb bin Syihab dari Bapaknya, dari Wa’il bin Hujr.
[4]HSR.
Al-Nasa’i: 1270; Abu Dawud: 989; al-Bayhaqi: 2615; Abd al-Razzaq: 3242, dari
Abdullah bin al-Zubayr ra.
[5]Al-Bayhaqi, al-Sunan
al-Kubra, juz 2, hlm 131-132.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar