BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Manusia adalah mahkluk Allah SWT yang diciptakan dalam rupa
yang paling sempurna. Tetapi dalam
melaksanakan kelangsungan hidupnya, manusia membutuhkan peran antar sesama
manusia yang biasa disebut dengan interaksi sosial.
Dalam kehidupannya, manusia bukan saja sebagai mahkluk
individual, tetapi manusia juga sebagai mahkluk sosial. Perannya sebagai
mahkluk individual, manusia membutuhkan makan, minum, istirahat, tempat tinggal
dan kebutuhan lainnya. Sedangkan perannya sebagai mahkluk sosial, manusia
membutuhkan orang lain guna melangsungkan kebutuhan hidupnya. Sekumpulan
manusia yang hidup dan saling berinteraksi satu dengan yang lain serta
membentuk suatu sistem tatanan hidup dalam suatu tempat tinggal atau wilayah
inilah yang nantinya disebut dengan masyarakat.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Pengertian Masyarakat Menurut Al-Qur’an
2. Tafsir Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang
Masyarakat
3. Kandungan Pendidikan
C.
TUJUAN
PENULISAN
Untuk mengetahui bagaimana
penjelasan mengenai ayat- ayat Al- Qur’an yang menjelaskan tentang masyarakat
serta penjelasan lainnya yang tentunya terkait dengan topik makalah ini. Selain
itu tentu sebagai bahan pertimbangan dosen atas tugas makalah dalam mata kuliah
Tafsir Qur’an & Hadits.
D. METODE PENULISAN
Metode yang digunakan penulis
dalam penyusunan makalah ini yaitu
dengan mengambil sumber referensi dari buku panduan yang berkaitan dengan topik
makalah ini, serta mengambil sumber dari internet sebagai bahan panduan
tambahan. Selain itu bimbingan dari dosen pembimbing juga kami gunakan untuk
melengkapi makalah ini.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN MASYARAKAT MENURUT AL-
QUR’AN
Istilah masyarakat dapat dilihat dari adanya berbagai
istilah lain yang dapat dihubungkan dengan konsep pembinaan masyarakat, seperti
istilah ummat, qaum, syu’ub, qabail dan lain
sebagainya. Istilah ummat dapat dijumpai pada ayat yang berbunyi :
öNçGZä. uöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ cöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3
öqs9ur ÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #Zöyz Nßg©9 4
ãNßg÷ZÏiB cqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ
“ Kamu sekalian adalah
ummat yang terbaik (khaira ummah) yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah SWT
“. (QS. Ali Imran : 110)
Kata ummah pada ayat tersebut, berasal dari kata amma,
yaummu yang berarti jalan dan maksud. Dari asal kata tersebut, dapat
diketahui bahwa masyarakat adalah kumpulan perorangan yang memiliki keyakinan
dan tujuan yang sama, menghimpun diri secara harmonis dengan maksud dan tujuan
bersama.
Selanjutnya dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an,
masyarakat diartikan sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh persamaan agama,
waktu, tempat baik secara terpaksa maupun kehendak sendiri. Inti dari pendapat-
pendapat tersebut, adalah bahwa masyarakat tempat berkumpulnya manusia yang
didalamnya terdapat sistem hubungan, aturan serta pola- pola hubungan dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya.
B. TAFSIR AYAT- AYAT AL- QUR’AN TENTANG MASYARAKAT
- QS. Al-Hujurat : 10
$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) (#qßsÎ=ô¹r'sù tû÷üt/ ö/ä3÷uqyzr& 4
(#qà)¨?$#ur ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇÊÉÈ
“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara, karena
itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah SWT supaya
kamu mendapat rahmat .”
Sesungguhnya orang-orang mu’min bernasab pada satu pokok
yaitu iman yang menyebabkan diperolehnya kebahagiaan abadi. Oleh karena
persaudaraan itu menyebabkan terjadinya hubungan yang baik dan mau tidak mau
harus dilakukan. Maka perbaikilah hubungan di antara dua orang saudaramu dalam
agama, sebagaimana kamu memperbaiki hubungan di antara dua orang saudaramu
dalam nasab.
Dan bertaqwalah kamu kepada Allah SWT dalam segala hal yang
kamu lakukan maupun yang kamu tinggalkan. Yang di antaranya adalah memperbaiki hubungan
di antara kamu yang kamu disuruh melaksanakannya. Mudah- mudahan Tuhanmu
memberi rahmat kepadamu dan memaafkan dosa- dosamu yang telah lalu
apabila kamu mematuhi Dia dan mengikuti perintah dan larangan-Nya.
b. QS. Al-Hujurat : 11
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w öyó¡o ×Pöqs% `ÏiB BQöqs% #Ó|¤tã br& (#qçRqä3t #Zöyz öNåk÷]ÏiB wur Öä!$|¡ÎS `ÏiB >ä!$|¡ÎpS #Ó|¤tã br& £`ä3t #Zöyz £`åk÷]ÏiB (
wur (#ÿrâÏJù=s? ö/ä3|¡àÿRr& wur (#rât/$uZs? É=»s)ø9F{$$Î/ (
}§ø©Î/ ãLôew$# ä-qÝ¡àÿø9$# y÷èt/ Ç`»yJM}$# 4
`tBur öN©9 ó=çGt y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqçHÍ>»©à9$# ÇÊÊÈ
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum
mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan)
lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita
(mengolok-olokkan) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita
(yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan
janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan jangan kamu panggil memanggil dengan
gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk
sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka itulah orang-orang
yang dzalim.”
Janganlah beberapa orang dari orang-orang mu’min
mengolok-olok orang-orang mu’min lainnya. Karena kadang-kadang orang yang
diolok-olokkan itu lebih baik di sisi Allah SWT. dari pada orang yang
mengolok-olokkannya. Dan janganlah kaum wanita mengolok-olok wanita lainnya,
karena barang kali wanita-wanita yang diolok-olokkan itu lebih baik dari pada
wanita-wanita yang mengolok-olokkan.
Allah SWT. menyebutkan kata jama’ pada dua tempat
dalam ayat tersebut, karena kebanyakan mengolok-olok itu dilakukan di tengah
orang banyak, sehingga sekian banyak orang enak saja mengolok-olokkan,
sementara dipihak lain banyak pula yang sakit hati. Dan janganlah sebagian kamu
mencela sebagian yang lain dengan ucapan atau isyarat secara tersembunyi.
Kata anfusakum merupakan peringatan bahwa orang yang
berakal tentu tidak akan mencela dirinya sendiri. Seperti halnya sabda Nabi, “orang-
orang mu’min itu seperti halnya satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh
menderita sakit, maka seluruh tubuh itu menderita sakit, maka seluruh tubuh
akan merasakan tak bisa tidur dan demam.”
Dan janganlah sebagian kamu mamanggil sebagian yang lain
dengan gelar yang manyakiti dan tidak disukai. Seperti halnya berkata kepada
sesama muslim,”Hai fasik, hai munafik dan lain sebagainya. Adapun gelar- gelar
yang memuat pujian dan penghormatan, dan merupakan gelar yang benar tidak
dusta, maka hal itu tidak dilarang, sebagaimana orang memanggil Abu Bakar
dengan ‘Atiq dan Umar dengan nama Al-Faruq.
Alangkah buruknya sebutan yang disampaikan kepada
orang-orang mu’min bila mereka disebut sebagai orang-orang yang fasik setelah
mereka masuk ke dalam iman dan termasyhur dengan keimanan tersebut. Dan barang
siapa tidak bertaubat dari mencela saudara-saudaranya dengan gelar-gelar yang
Allah SWT melarang mengucapkannya atau menggunakannya sebagai ejekan atau
olok-olok terhadapnya, maka mereka itulah orang-orang yang menganianya diri
sendiriyang berarti mereka menimpakan hukuman Allah SWT terhadap diri sendiri
karena kemaksiatan mereka terhadap-Nya.
c. Qs. Al-Hujurat : 12
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qç7Ï^tGô_$# #ZÏWx. z`ÏiB Çd`©à9$# cÎ) uÙ÷èt/ Çd`©à9$# ÒOøOÎ) (
wur (#qÝ¡¡¡pgrB wur =tGøót Nä3àÒ÷è/ $³Ò÷èt/ 4
=Ïtär& óOà2ßtnr& br& @à2ù't zNóss9 ÏmÅzr& $\GøtB çnqßJçF÷dÌs3sù 4
(#qà)¨?$#ur ©!$# 4
¨bÎ) ©!$# Ò>#§qs? ×LìÏm§ ÇÊËÈ
“Hai orang-orang yang beriman, jahuilah kebanyakan dari
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing
sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging
saudaranya yang sudah mati ? maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertaqwalah kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha
penyanyang.”
Pada
ayat di atas, menjelaskan tentang perkara-perkara besar yang menambah semakin
kuatnya hubungan dalam masyarakat islam, yaitu :
- Menghindari
prasangka yang buruk terhadap sesama manusia
- Jangan
mencari keburukan dan aib orang lain
- Jangan
sebagian mereka menyebut sebagian yang lain dengan hal-hal yang tidak
mereka sukai tanpa sepengetahuan mereka.
d. Qs. Al-Hujurat : 13
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4
¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4
¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesunggunhnya orang yang paling mulia
di sisi Allah SWT ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.”
Pada QS. Al-Hujurat : 11 kata qaum dihubungkan dengan
kelompok orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan. Ini
menunjukkan bahwa kata qaum berhubungan dengan manusia. Al-Qur’an menghendaki
agar hubungan kemasyarakatan manusia dapat berjalan baik, hendaknya disertai
dengan etika. Antara satu dan lainnya tidak boleh saling mengejek, memanggil
dengan sebutan yang buruk. Selanjutnya dalam ayat 12 surat Al-Hujurat etika
hubungan tersebut dilanjutkan dengan larangan saling berburuk sangka (negative
thingking), membicarakan keburukan orang lain (menggunjing). Agar
terhindar dari perbuatan tersebut, seseorang hendaknya meningkatkan ketaqwaan
kepada Allah SWT. Sedangkan pada ayat 10 surat Al-Hujurat telah diletakkan
dasar untuk membangun masyarakat dengan rasa persaudaraan (ukhuwah). Dengan
dasar ini, jika di antara mereka terjadi perselisihan, hendaknya didamaikan
dengan cara yang sebaik-baiknya.
Salah
satu hukum kemasyarakatan yang paling populer adalah hukum terjadinya perubahan
sosial, sebagaimana dinyatakan :
a. Qs. Ar-Ra’d : 11
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷yt ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ÌøBr& «!$# 3
cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3
!#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß xsù ¨ttB ¼çms9 4
$tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ
“Ada baginya pengikut-pengikut yang bergiliran, dihadapannya
dan dibelakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah SWT. Sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu qaum sehingga mereka mengubah apa yang
ada pada diri mereka. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu
qaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung
bagi mereka selain Dia.”
Perubahan yang dilakukan Tuhan terjadi secara pasti melalui
hukum-hukum kemasyarakatan yang ditetapkan Tuhan. Kata maa bianfusihim yang
diterjemahkan dengan apa yang terdapat dalam diri mereka, mengandung dua unsur
pokok, yaitu nilai-nilai yang dihayati dan iradah (kehendak) manusia.
Perpaduan keduanya menciptakan kekuatan pendorong manusia dalam melakukan suatu
perbuatan.
b. Qs. Al-Anfal : 53
y7Ï9ºs cr'Î/ ©!$# öNs9 à7t #ZÉitóãB ºpyJ÷èÏoR $ygyJyè÷Rr& 4n?tã BQöqs% 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/
cr&ur ©!$# ììÏJy ÒOÎ=tæ ÇÎÌÈ
“Yang demikian itu adalah karena sesunggunhnya Allah
sekali-kali tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah dianugrahkan-Nya kepada
suatu qaum hingga qaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan
sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Bahwasanya Allah tidak akan merubah sesuatu ni’mat yang
telah dianugrahkan-Nya kepada seseorang melainkan karena dosa yang
dilakukannya.
Ada
beberapa hal yang perlu di garis bawahi menyangkut kedua ayat di atas, yaitu :
- Ayat-ayat
tersebut, berbicara tentang perubahan sosial, bukan perubahan individu.
Ini dapat dipahami dari penggunaan kata qaum (masayarakat) pada
kedua ayat tersebut.
- Penggunaan
kata qaum, juga menunujukkan bahwa hukum kemasyarakatan ini tidak
hanya berlaku bagi kaum muslimin atau satu suku, ras dan agama tertentu,
tetapi ini berlaku umum, kapan dan di mana mereka berada.
- Kedua
ayat tersebut, berbicara tentang dua pelaku perubahan. Pelaku yang pertama
adalah Allah SWT Sedang pelaku ke dua adalah manusia.
- Kedua
ayat tersebut, menekankan bahwa perubahan yang dilakukan oleh Allah SWT,
haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat.
C.
AKHLAQ
BERMASYARAKAT
1.
BERTAMU
DAN MENERIMA TAMU
Dalam
kehidupan bermasyarakat, kita tidak akan pernah terlepas dari kegiatan bertamu
dan menerima tamu. Adakalanya kita yang datang mengunjungi sanak saudara,
teman- teman atau para kenalan, dan lain waktu kita yang dikunjungi. Supaya
kegiatan kunjungi mengunjungi tersebut tetap berdampak positif bagi kedua belah
pihak, maka Islam memberikan tuntunan bagaimana sebaiknya kegiatan bertamu dan
menerima tamu tersebut dilakukan.
Bertamu
Sebelum
memasuki rumah seseorang, hendaklah yang bertamu terlebih dahulu meminta izin
dan mengucapkan salam kepada penghuni rumah. Allah SWT berfirman :
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#qè=äzôs? $·?qãç/ uöxî öNà6Ï?qãç/ 4_®Lym (#qÝ¡ÎSù'tGó¡n@ (#qßJÏk=|¡è@ur #n?tã $ygÎ=÷dr& 4
öNä3Ï9ºs ×öyz öNä3©9 öNä3ª=yès9 crã©.xs? ÇËÐÈ
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah
yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang
demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS. An- Nur 24: 27)
Manakah
yang lebih dahulu dilakukan, meminta izin atau mengucapkan salam? Kalau dilihat
dari redaksi ayat diatas, maka yang pertama dilakukan adalah meinta izin, baru
kemudian mengucapkan salam. Demikianlah pendapat sebagian ulama. Tetapi
mayoritas ahli fiqh berpendapat sebaliknya. Mereka berargumentasi dengan
menyebutkan beberapa hadits Rasulullah SAW riwayat Bukhari, Ahmad, Tirmidzi,
Ibn Abi Syaibah dan Ibn ‘Abd al- Bar yang sekalipun dengan redaksi yang
berbeda- beda tapi semuanya menyatakan bahwa mengucapkan salam lebih dahulu
dari meminta izin (as- salam qabl al-
kalam).
Sementara
itu ulama lain mengkompromikan dua pendapat diatas dengan menyatakan bahwa,
apabila tamu melihat salah seorang penghuni rumah, maka dia mengucapkan salam
terlebih dahulu. Tapi bila tidak melihat siapa- siapa maka hendaklah dia
meminta izin terlebih dahulu. Pendapat terakhir inilah yang dipilih oleh al-
Mawardi.
Meminta
izin bisa dengan kata- kata, dan bisa pula dengan ketukan pintu atau tekan
tombol bel atau cara- cara lain yang dikenal baik oleh masyarakat setempat.
Bahkan salam itu sendiri bisa juga dianggap sekaligus sebagai permohonan izin.
Menurut
Rasulullah SAW, meminta izin maksimal boleh dilakukan tiga kali. Apabila tidak
ada jawaban seyogyanya yang akan bertamu kembali pulang. Jangan sekali- kali
masuk rumah orang lain tanpa izin, karena disamping tidak menyenangkan bahkan
mengganggu tuan rumah, juga dapat berakibat negatif kepada tamu itu sendiri.
Rasulullah SAW bersabda :
“ Jika seseorang
diantara kamu telah meminta izin tiga kali, lalu tidak diizinkan, maka
hendaklah dia kembali,” (HR. Bukhari Muslim)
Kenapa
meminta izin maksimal tiga kali? Karena ketukan yang pertama sebagai pemberitahuan
kepada tuan rumah akan kedatangan tamu, ketuka kedua memberikan kesempatan
kepada penghuni rumah untuk bersiap- siap atau menyiapkan segala sesuatu yang
diperlukan (boleh jadi ada meja dan kursi atau pakaian yang perlu dirapikan),
ketukan ketiga diharapkan penghuni rumah sudah berjalan menuju pintu. Setelah
ketukan ketiga tetap tidak ada yang membukakan pintu, ada kemungkinan tidak ada
orang dirumah, atau penghuni rumah tidak bersedia menerima tamu.
Tamu
tidak boleh mendesakkan keinginannya untuk bertamu setelah ketukan ketiga,
karena hal tersebut akan mengganggu tuan rumah. Setiap orang diberi hak privasi
dirumahnya masing- masing. Tidak seorang pun boleh mengganggunya. Tuan rumah,
sekalipun dianjurkan untuk menerima dan memuliakan tamu, tapi tetap punya hak
untuk menolak kedatangan tamu kalau memang dia tidak dalam suasana siap
dikunjungi.
Menurut
ungkapan Al- Qur’an, tidak memaksa masuk pada saat tidak ada orang di rumah,
atau ditolak oleh tuan rumah, lebih bersih bagi tamu itu sendiri. Artinya lebih
menjaga nama baiknya dan kehormatan dirinya. Kalau dia mendesak terus untuk
bertamu, dia kan dinilai kurang memiliki akhlaq, apabila dia masuk padahal
tidak ada orang di rumah, bisa- bisa dia dituduh bermaksud mencuri. Kedua-
duanya merugikan nama baiknya. Allah SWT berfirman :
bÎ*sù óO©9 (#rßÅgrB !$ygÏù #Yymr& xsù $ydqè=äzôs? 4Ó®Lym cs÷sã ö/ä3s9 (
bÎ)ur @Ï% ãNä3s9 (#qãèÅ_ö$# (#qãèÅ_ö$$sù (
uqèd 4s1ør& öNä3s9 4
ª!$#ur $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÈ
“Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah
kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. dan jika dikatakan kepadamu:
"Kembali (saja) lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An- Nur 24: 28)
Disamping meminta izin dan
mengucapkan salam hal lain yang perlu diperhatika oleh setiap orang yang
bertamu adalah sebagai berikut :
a. Jangan
bertamu sembarang waktu. Bertamulah pada saat yang tepat, saat mana tuan rumah
diperkirakan tidak akan terganggu. Misalnya jangan bertamu waktu istirahat atau
waktu tidur.
b. Kalau
diterima bertamu, jangan terlalu lama sehingga merepotkan tuan rumah. Setelah
urusan selesai segeralah pulang.
c. Jangan
melakukan kegiatan yang menyebabkan tuan rumah terganggu, misalnya memeriksa
ruangan dan perabotan rumah, memasuki ruangan- ruangan pribadi tanpa izin, atau
menggunakan fasilitas- fasilitas yang ada dalam rumah tanpa seizin penghuni
rumah. Diizinkan masuk rumah tidak berarti diizinkan segalanya- galanya.
d. Kalau
disuguhi minuman atau makanan hormatilah jamuan itu. Bahkan Rasulullah SAW
menganjurkan kepada orang yang puasa sunnah sebaiknya membukai puasanya untuk
menghormati jamuan (HR. Baihaqi).
e. Hendaklah
pamit waktu mau pulang. Meninggalkan rumah tanpa pamit disamping tidak terpuji,
juga mengandung fitnah.
Menerima Tamu
Menerima
dan memuliakan tamu tanpa membeda- bedakan status sosial mereka adalah salah
satu sifat terpuji yang sangat dianjurkan dalam Islam. Bahkan Rasulullah SAW
mengaitkan sifat memuliakan tamu itu dengan keimanan terhadap Allah dan Hari
Akhir. Beliau bersabda :
“ Barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Barangsiapa
yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya.
Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia
memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Memuliakan tamu dilakukan antara
lain dengan menyambut kedatangannya dengan muka manis dan tutur kata yang lemah
lembut, mempersilahkannya duduk di tempat yang baik. Kalau perlu disediakan
ruangan khusus untuk menerima tamu yang selalu dijaga kerapian dan keasriannya.
Kalau
tamu datang dari tempat yang jauh dan ingin menginap, tuan rumah wajib menerima
dan menjamunya maksimal tiga hari tiga malam. Lebih dari tiga hari terserah
kepada tuan rumah untuk tetap menjamunya atau tidak. Menurut Rasulullah SAW,
menjamu tamu lebih dari tiga hari nilainya sedekah, bukan lagi kewajiban.
Rasulullah SAW bersabda :
“ Menjamu tamu itu hanya tiga hari.
Jizahnya sehari semalam. Apa yang dibelanjakan untuk tamu diatas tiga hari
adalah sedekah. Dan tidak boleh bagi tamu tetap menginap (lebih dari tiga hari)
karena hal itu akan memberatkan tuan rumah.” (HR. Tirmidzi)
Menurut Imam Malik, yang dimaksud
dengan jaizah sehari semalam adalah memuliakan dan menjamu tamu pada hari
pertama dengan hidangan yang istimewa dari hidangan yang biasa dimakan tuan
rumah sehari- hari. Sedangkan hari kedua dan ketiga dijamu dengan hidangan
biasa sehari- hari.
Sedangkan menurut Ibn al- Atsir,
yang dimaksud dengan jaizah sehari semalam adalah memberi bekal kepada tamu
untuk perjalanan sehari semalam. Dalam konteks perjalanan di padang pasir,
diperlukan bekal minimal untuk sehari semalam sampai bertemu dengan tempat
persinggahan berikutnya.
Kedua pemahaman diatas dapat
dikompromikan dengan melakukan kedua- duanya apabila memang tamunya membutuhkan
bekal untuk melanjutkan perjalanan. Tapi bagaimana pun bentuknya, substansi
tetap sama yaitu anjuran untuk memuliakan tamu sedemikian rupa.
2.
HUBUNGAN
BAIK DENGAN TETANGGA
Sesudah
anggota keluarga sendiri, orang yang paling dekat dengan kita adalah tetangga.
Merekalah yang diharapkan paling dahulu memberikan bantuan jika kita
membutuhkannya. Jika tiba- tiba kita ditimpa musibah kematian misalnya,
tetanggalah yang paling dahulu datang takziah dan mengulurkan bantuan. Begitu
juga apabila kita mengadakan acara aqiqahan atau walimahan, maka tetangga
jugalah yang akan lebih dahulu memberikan bantuan dibandingkan famili yang
rumahnya lebih jauh. Kepada tetangga pulalah kita menitipkan rumah jika kita
sekeluarga bepergian jauh keluar kota atau keluar daerah.
Begitu
pentingnya peran tetangga sampai Rasulullah SAW menganjurkan kepada siapa saja
yang akan membeli rumah atau membeli tanah untuk dibangun rumah, hendaklah
mempertimbangkan siapa yang akan menjadi tetangganya. Beliau bersabda :
“Tetangga sebelum rumah, kawan
sebelum jalan, dan bekal sebelum perjalanan.” (HR. Khatib)
Dalam
kesempatan lain Rasulullah SAW juga mengatakan bahwa tetangga yang baik adalah
salah satu dari tiga hal yang membahagiakan hidup :
“
Di antara yang membuat bahagia seorang Muslim adalah tetangga yang baik, rumah
yang lapang dan kendaraan yang nyaman.” (HR. Hakim)
Baik buruknya sikap tetangga kepada kita tentu tergantung
juga bagaimana kita bersikap kepada mereka. Oleh sebab itu sangat dapat
dimengerti kenapa Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik dengan
tetangga, baik tetangga dekat maupun tetangga jauh. Allah SWT berfirman :
(#rßç6ôã$#ur ©!$# wur (#qä.Îô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© (
Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) ÉÎ/ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Í$pgø:$#ur Ï 4n1öà)ø9$# Í$pgø:$#ur É=ãYàfø9$# É=Ïm$¢Á9$#ur É=/Zyfø9$$Î/ Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# $tBur ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷r& 3
¨bÎ) ©!$# w =Ïtä `tB tb%2 Zw$tFøèC #·qãsù ÇÌÏÈ
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu
mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang
ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang
dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri.” (QS. An- Nisa’ 4: 36)
Dekat dan jauh dalam ayat diatas
dapat berarti dekat dari segi tempat, hubungan kekeluargaan dan agama. Dengan
varian agama dan hubungan kekeluargaan, tetangga dapat dibagi kepada tiga
klasifikasi. Pertama, tetangga yang punya satu hak, yaitu hak sebagai tetangga.
Mereka adalah tetangga yang bukan famili dan bukan pula seagama. Kedua,
tetangga yang punya dua hak, yaitu hak tetangga dan hak seagama. Mereka adalah
tetangga yang seagama. Ketiga, tetangga yang punya tiga hak, yaitu hak
tetangga, seagama dan famili. Mereka adalah tetangga yang seagama dan punya
hubungan kekeluargaan.
Tetangga yang punya hak lebih
banyak, lebih berhak mendapatkan kebaikan dari kita. Klasifikasi tersebut
diperlukan untuk menentukan prioritas apabila karena keterbatasan, kita hanya
mampu berbuat baik kepada sebagian mereka saja.
Pentingnya Hubungan
Baik dengan Tetangga
Berkali- kali Malaikat Jibril memesankan
kepada Nabi Muhammad SAW untuk berbuat baik dengan tetangga, sampai- sampai
beliau mengira tetangga akan mendapatkan warisan. Nabi bersabda :
“Selalu Jibril
memesankan kepadaku (untuk berbuat baik) dengan tetangga, sampai- sampai aku
menduga bahwa tetangga akan menerima warisan”. (H. Muttafaqun ‘Alaih)
Dalam beberapa hadits lain
Rasulullah SAW menjadikan sikap baik dengan tetangga sebagai ukuran dari
keimanan seseorang kepada Allah dan Hari Akhir. Beliau bersabda :
“Barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.
Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia memuliakan
tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka
hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari beberapa hadits diatas tampak
bagi kita betapa pentingnya sikap baik kepada tetangga. Sikap hidup bertetangga
mempunyai hubungan yang signifikan dengan kualitas iman seseorang. Semakin kuat
iman seseorang, semakin baik dia dengan tetangganya, begitu pula sebaliknya.
Bentuk- bentuk Hubungan
Baik dengan Tetangga
Minimal hubungan baik dengan
tetangga diwujudkan dalam bentuk tidak mengganggu atau menyusahkan mereka.
Misalnya, waktu tetangga tidur atau istirahat, kita tidak membunyikan radio
atau tv dengan volume tinggi. Tidak membuang sampah ke halaman rumah tetangga.
Tidak menyakiti hati tetangga dengan kata- kata kasar dan tidak sopan.
Yang lebih baik lagi tidak hanya
sekedar menjaga jangan sampai tetangga terganggu, tapi secara aktif berbuat
baik kepada mereka. Misalnya dengan mengucapkan salam dan bertegur sapa dengan
ramah, memberikan pertolongan apabila tetangga membutuhkannya, apabila kita
memasak makanan, memberikannya sebagian kepada tetangga. Dalam hal ini
Rasulullah SAW pernah berpesan kepada Abu Dzar :
“Jika engaku memasak
gulai, perbanyaklah kuahnya, kemudian perhatikanlah tetangga- tetanggamu, dan
berilah mereka sepantasnya” (HR. Muslim)
Seorang Muslim harus peduli dan
memperhatikan tetangganya. Mengulurkan tangan untuk mengatasi kesulitan hidup
yang dihadapi oleh tetangga. Jangan sampai terjadi seseorang dapat tidur
nyenyak sementara tetangganya menangis kelaparan, sebagaimana yang dinyatakan
oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits :
“Tidaklah beriman
kepadaku orang yang dapat tidur dengan perut kenyang sementara tetangganya
kelaparan, padahal dia mengetahui.” (HR. Bazzar)
3.
HUBUNGAN
BAIK DENGAN MASYARAKAT
Selain dengan tamu dan tetangga, seorang
Muslim harus dapat berhubungan baik dengan masyarakat yang lebih luas, baik di
lingkungan pendidikan, kerja, sosial dan lingkungan lainnya. Baik dengan orang-
orang yang seagama, maupun dengan pemeluk agama lainnya.
Hubungan baik dengan masyarakat
diperlukan, karena tidak ada seorangpun yang dapat hidup tanpa bantuan
masyarakat. Lagi pula hidup bermasyarakat sudah merupakan fitrah manusia. Dalam
Surat Al- Hujurat ayat 13 dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari lelaki dan
perempuan, bersuku- suku dan berbangsa- bangsa, agar mereka saling kenal
mengenal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, menurut Al- Qur’an, manusia
secara fitri adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat merupakan suatu
keniscayaan bagi mereka.
Pada dasarnya, tidak ada bedanya antara
tata cara pergaulan bermasyarakat sesama Muslim dan dengan non Muslim. Kalaupun
ada perbedaan, hanya terbatas dalam beberapa hal yang bersifat ritual
keagamaan.
Kewajiban Sosial Sesama
Muslim
Untuk terciptanya hubungan baik
sesama Muslim dalam masyarakat, setiap orang harus mengetahui hak dan
kewajibannya masing- masing sebagai anggota masyarakat. Dalam sebuah hadits,
Rasulullah SAW menyebutkan ada lima kewajiban seorang Muslim atas Muslim
lainnya. Beliau bersabda :
“Kewajiban seorang
Muslim atas Muslim lainnya ada lima : Menjawab salam, mengunjungi orang sakit,
mengiringi jenazah, memenuhi undangan, dan menjawab orang bersin.” (HR.
Khamsah)
1.
Menjawab
Salam
Mengucapkan dan menjawab salam hukumnya
berbeda. Mengucapkannya sunnah, menjawabnya wajib. Hal itu dapat dimengerti
karena tidak menjawab salam yang diucapkannya, tidak hanya dapat mengecewakan
orang yang mengucapkannya, juga dapat menimbulkan kesalahfahaman. Salam harus
dijawab minimal dengan salam yang seimbang, tapi akan lebih baik lagi bila
dijawab dengan salam yang lebih lengkap. Allah SWT berfirman :
#sÎ)ur LäêÍhãm 7p¨ÅstFÎ/ (#qyssù z`|¡ômr'Î/ !$pk÷]ÏB ÷rr& !$ydrâ 3
¨bÎ) ©!$# tb%x. 4n?tã Èe@ä. >äóÓx« $·7Å¡ym ÇÑÏÈ
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan
sesuatu penghormatan. Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik
dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya
Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An- Nisa’ 4: 86)
2. Mengunjungi Orang
Sakit
Menurut Rasulullah SAW, orang- orang
yang beriman itu ibarat satu batang tubuh, apabila salah satu anggota tubuh
sakit, yang lain ikut prihatin. Salah satu cara menerapkan hadits diatas adalah
dengan meluangkan waktu mengunjungi saudara seagama yang sakit. Kunjungan
teman, saudara, adalah “obat yang mujarab” bagi si sakit. Dia merasa senang
karena masih ada sahabat untuk berbagi duka. Peribahasa mengatakan, “teman
ketawa banyak, teman menangis sedikit.”
Betapa pentingnya mengunjungi orang
sakit itu dapat terlihat dalam hadits qudsi berikut ini. Rasulullah SAW
bersabda :
“Sesungguhnya Allah
‘Azza wa Jalla berfirman pada hari Kiamat : “Hai anak Adam, Aku sakit, kenapa
kamu tidak datang mengunjungi- Ku?” Anak Adam menjawab : “Ya Tuhan, bagaimana
aku akan mengunjungi- Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?” Allah
berfirman : “Tidakkah kamu tahu bahwa si Fulan hamba- Ku sakit, kenapa kamu
tidak mengunjunginya? Tahukah kamu, jika kamu mengunjunginya niscaya kamu akan
menemui- Ku di sisinya..” (HR. Muslim)
3.
Mengiringi
Jenazah
Apabila seseorang meninggal dunia,
masyarakat secara kifayah wajib memandikan, mengafani, menshalatkan, dan
menguburkannya. Rasulullah SAW sangat menganjurkan kepada masyarakat untuk
dapat menshalatkan dan mengantarkan jenazah ke kuburan bersama- sama. Beliau
bersabda :
“Barangsiapa yang
menyaksikan jenazah lalu ikut menshalatkannya, baginya satu qirath. Dan
barangsiapa yang menyaksikannya sampai dikuburkan, baginya dua qirath.”
Ditanyakan orang : “Apa itu dua qirath?” Beliau bersabda : “Seperti dua gunung
yang besar (pahalanya).” (H. Muttafaqun ‘Alaih)
Mengantarkan jenazah sampai ke
kuburan, disamping untuk mengurangi kedukaan ahli waris yang ditinggalkan, juga
sangat penting untuk mengingatkan, bahwa cepat atau lambat tapi pasti, setiap
orang pasti akan mengalami kematian, oleh sebab itu bersiap- siaplah
menghadapinya.
4.
Mengabulkan
Undangan
Undang mengundang sudah menjadi tradisi
dalam pergaulan bermasyarakat. Yang mengundang akan kecewa lagi bila yang berhalangan
hadir tidak memberi khabar apa- apa. Oleh sebab itu seorang Muslim sangat
dianjurkan memenuhi berbagai undangan yang diterimanya (menghadiri pengajian,
rapat, aqiqahan dan lain sebagainya) selama tidak ada halangan, dan acara-
acara tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Khusus untuk undangan walimahan (resepsi
perkawinan) seorang Muslim wajib menghadirinya. Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila seseorang di
antara kamu diundang menghadiri walimahan, maka hendaklah dia menghadirinya.”
(H. Muttafaqun ‘Alaih)
Kewajiban menghadiri walimahan dapat
dipahami, karena pada umumnya walimahan hanya terjadi sekali dalam perjalanan
hidup seseorang. Alangkah kecewanya dia, apabila sahabat, saudara dan
kenalannya tidak menghadiri undangannya tanpa suatu alasan yang dapat diterima.
Oleh sebab itu apabila kita berhalangan menghadirinya, sebaiknya kita memberi
tahu terlebih dahulu atau belakangan, diiringi permohonan maaf.
5.
Menyahuti
Orang Bersin
Orang yang bersin disunatkan untuk
membaca Alhamdulillah, bersyukur kepada Allah, karena bisanya bersin
pertanda badan ringan dari penyakit. Bagi yang mendengar (orang bersin
mengucapkan Alhamdulillah), diwajibkan menyahutinya dengan membaca yarhamukallah
(mendoakan semoga Allah mengasihinya). Orang yang tadi bersin menjawab pula, yahdikumullah
wa yushlih balakum (semoga Allah menunjuki dan memperbaiki keadaanmu).
Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :
“Jika salah seorang di
antaramu bersin hendaklah dia membaca Alhamdulillah.
Hendaklah saudara atau temannya (yang mendengar) mengucapkan kepadanya, yarhamukallah. Jika dia ucapkan padanya
yarhamukallah hendaklah dia mengucapkan yahdikumullah
wa yushlih balakum.” (HR. Muslim)
Jika yang bersin tidak mengucapkan
Alhamdulillah, kita tidak boleh menyahutinya. Rasulullah SAW bersabda :
“Jika salah seorang
diantara kamu bersin dan mengucapkan Alhamdulillah, maka sahutilah. Jika dia
tidak membaca Alhamdulillah, jangan disahuti.” (HR. Muslim)
Ajaran Islam tentang bersin
disamping mempunyai nilai ibadah, juga sangat besar artinya dalam memperkuat
tali ikatan sesama anggota masyarakat, karena masing- masing saling
memperhatikan dan mendo’akan. Kalau dalam hal- hal yang dianggap kecil saja
seperti bersin, kita saling memperhatikan dan mendo’akan itu akan lebih
meningkat lagi.
Toleransi Agama
Diatas sudah dijelaskan bahwa Islam
tidak hanya menyuruh kita membina hubungan baik dengan sesama Muslim saja, tapi
juga dengan non Muslim. Namun demikian dalam hal- hal tertentu ada pembatasan
hubungan dengan non Muslim, terutama yang menyangkut aspek ritual keagamaan.
Misalnya kita tidak boleh mengikuti upacara- upacara keagamaan yang mereka
adakan sekalipun kita diundang, kita tidak boleh mendo’akannya untuk
mendapatkan rahmat dan berkah dari Allah SWT (kecuali mendo’akannya supaya
mendapat hidayah) dan lain sebagainya. Sehingga dalam bertegur sapa misalnya,
untuk non Muslim kita tidak mengucapkan salam Islam, tapi menggantinya dengan
ucapan- ucapan lain sesuai kebiasaan.
Dalam berhubungan dengan masyarakat
non Muslim, Islam menagajarkan kepada kita untuk toleransi, yaitu menghormati
keyakinan umat lain tanpa berusaha memaksakan keyakinan kita kepada mereka (QS.
Al- Baqarah 2: 256). Kalau berdialog dengan mereka, kita berdialog dengan cara
yang terbaik (QS. Al- Ankabut 29: 46). Tidak boleh menghina agama atau
keyakinan mereka, apalagi mencela Tuhan mereka.
Toleransi tidaklah berani mengakui
kebenaran agama mereka, tapi mengakui keberadaan agama mereka dalam realitas
bermasyarakat. Toleransi juga bukan berarti kompromi atau bersifat sinkretisme
dalam keyakinan dan ibadah. Kita sama sekali tidak boleh mengikuti agama dan
ibadah mereka dengan alasan apapun.
Sikap
kita dalam hal ini sudah jelas dan tegas yaitu :
ö/ä3s9 ö/ä3ãYÏ uÍ<ur ÈûïÏ ÇÏÈ
“Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku." (QS. Al- Kafirun 109: 6)
Demikianlah, mudah- mudahan kita
dapat menjadi anggota masyarakat yang selalu berbuat baik kepada anggota
masyarakat lainnya.
4. Kandungan Pendidikan
Pemahaman terhadap konsep masyarakat yang ideal amat
diperlukan dalam rangka mengembangkan konsep pendidikan. Berkenaan dengan ini
paling tidak terdapat empat hal yang menggambarkan hubungan konsep masyarakat
dengan pendidikan, antara lain :
- Bahwa
gambaran masyarakat yang ideal harus dijadikan salah satu pertimbangan
dalam merancang visi, misi dan tujuan pendidikan
- Gambaran
masyarakat yang ideal juga harus dijadikan landasan bagi pengembangan
pendidikan yang berbasis masyarakat
- Perkembangan
dan kemajuan yang terjadi di masyarakat juga harus dipertimbangkan dalam
merumuskan tujuan pendidikan
- Perkembangan
dan kemajuan yang terjadi di masyarakat harus dijadikan landasan bagi
perumusan kurikulum
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas, maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut :
- Pengertian
masyarakat adalah tempat berkumpulnya manusia yang di dalamnya terdapat
sistem hubungan, aturan serta pola-pola hubungan dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya.
- Istilah
masyarakat dapat dilihat dari adanya berbagai istilah lain yang dapat
dihubungkan dengan konsep pembinaan masyarakat, seperti istilah ummat,
syu’ub, qabail.
- Dalam
Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang masyarakat di
antaranya, Qs. Al-Hujurat ayat 10-13, Ar-Ra’d ayat 13, dan Al-Anfal ayat
53.
- Anjuran
untuk membangun masyarakat yang dilandasi dengan rasa persaudaraan (ukhuwah),
disertai dengan etika sehingga dapat meningkatkan ketaqwaan, serta
larangan berburuk sangka (negative thingking), menggunjing,
memanggil saudaranya dengan gelar yang buruk.
- Perlu
adanya pemahaman terhadap konsep masyarakat yang ideal untuk mengembangkan
konsep pendidikan
B. Saran
Demikianlah makalah tentang istilah masyarakat dalam
Al-Qur’an serta konsep masyarakat yang ideal untuk mengembangkan konsep
pendidikan yang pemakalah buat. Kritik dan saran yang kontruktif
senantiasa dinantikan pemakalah demi perbaikan makalah berikutnya. Akhir kata,
kami hanya bisa mengucap tidak ada gading yang tak retak hanya milik-Nyalah
kesempurnaan yang merajai langit dan bumi serta isinya. Semoga penulisan
makalah ini bermanfaat. Amin.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Maragi, Ahmad Musthafa, Tafsir
Al-Maragi juz XXVI. Smarang : Toha Putra, 1993
Ar-Rifa’I, Muhammad Nasib, Tafsir
Ibnu Katsir jilid 2. Jakarta : Gema Insani Press, 1999
Nata, Abudin, Tafsir Ayat-ayat
Pendidikan. Jakarta : Rajawali Pers, 2009
Shihab, M. Quraish, Wawasan
Al-Qur’an. Bandung : Mizan, 1996
Shihab, M. Quraish, Tafsir
Al-Misbah juz 6. Jakarta : Lentera Hati, 2008
Ilyas,
Yunahar, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta : LPPI UMY, 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar