Senin, 04 Mei 2015

“Ayat- ayat yang Menjelaskan Tentang Masyarakat”


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Manusia adalah mahkluk Allah SWT yang diciptakan dalam rupa yang paling sempurna. Tetapi dalam melaksanakan kelangsungan hidupnya, manusia membutuhkan peran antar sesama manusia yang biasa disebut dengan interaksi sosial.
Dalam kehidupannya, manusia bukan saja sebagai mahkluk individual, tetapi manusia juga sebagai mahkluk sosial. Perannya sebagai mahkluk individual, manusia membutuhkan makan, minum, istirahat, tempat tinggal dan kebutuhan lainnya. Sedangkan perannya sebagai mahkluk sosial, manusia membutuhkan orang lain guna melangsungkan kebutuhan hidupnya. Sekumpulan manusia yang hidup dan saling berinteraksi satu dengan yang lain serta membentuk suatu sistem tatanan hidup dalam suatu tempat tinggal atau wilayah inilah yang nantinya disebut dengan masyarakat.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.    Pengertian Masyarakat Menurut Al-Qur’an
2.    Tafsir Ayat-ayat Al-Qur’an Tentang Masyarakat
3.    Kandungan Pendidikan
C.    TUJUAN PENULISAN
Untuk mengetahui bagaimana penjelasan mengenai ayat- ayat Al- Qur’an yang menjelaskan tentang masyarakat serta penjelasan lainnya yang tentunya terkait dengan topik makalah ini. Selain itu tentu sebagai bahan pertimbangan dosen atas tugas makalah dalam mata kuliah Tafsir Qur’an & Hadits.

D.    METODE PENULISAN
Metode yang digunakan penulis dalam penyusunan makalah  ini yaitu dengan mengambil sumber referensi dari buku panduan yang berkaitan dengan topik makalah ini, serta mengambil sumber dari internet sebagai bahan panduan tambahan. Selain itu bimbingan dari dosen pembimbing juga kami gunakan untuk melengkapi makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN


A.    PENGERTIAN MASYARAKAT MENURUT AL- QUR’AN
Istilah masyarakat dapat dilihat dari adanya berbagai istilah lain yang dapat dihubungkan dengan konsep pembinaan masyarakat, seperti istilah  ummat, qaum, syu’ub, qabail dan lain sebagainya. Istilah ummat dapat dijumpai pada ayat yang berbunyi :
öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_̍÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã ̍x6ZßJø9$# tbqãZÏB÷sè?ur «!$$Î/ 3 öqs9ur šÆtB#uä ã@÷dr& É=»tGÅ6ø9$# tb%s3s9 #ZŽöyz Nßg©9 4 ãNßg÷ZÏiB šcqãYÏB÷sßJø9$# ãNèdçŽsYò2r&ur tbqà)Å¡»xÿø9$# ÇÊÊÉÈ  
 “ Kamu sekalian adalah ummat yang terbaik (khaira ummah) yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah SWT “. (QS. Ali Imran : 110)
Kata ummah pada ayat tersebut, berasal dari kata amma, yaummu yang berarti jalan dan maksud. Dari asal kata tersebut, dapat diketahui bahwa masyarakat adalah kumpulan perorangan yang memiliki keyakinan dan tujuan yang sama, menghimpun diri secara harmonis dengan maksud dan tujuan bersama.
Selanjutnya dalam  Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an, masyarakat diartikan sebagai semua kelompok yang dihimpun oleh persamaan agama, waktu, tempat baik secara terpaksa maupun kehendak sendiri. Inti dari pendapat- pendapat tersebut, adalah bahwa masyarakat tempat berkumpulnya manusia yang didalamnya terdapat sistem hubungan, aturan serta pola- pola hubungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.



B.     TAFSIR AYAT- AYAT AL- QUR’AN TENTANG MASYARAKAT
    1. QS. Al-Hujurat : 10
$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) (#qßsÎ=ô¹r'sù tû÷üt/ ö/ä3÷ƒuqyzr& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇÊÉÈ  
“Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah SWT supaya kamu mendapat rahmat .”
Sesungguhnya orang-orang mu’min bernasab pada satu pokok yaitu iman yang menyebabkan diperolehnya kebahagiaan abadi. Oleh karena persaudaraan itu menyebabkan terjadinya hubungan yang baik dan mau tidak mau harus dilakukan. Maka perbaikilah hubungan di antara dua orang saudaramu dalam agama, sebagaimana kamu memperbaiki hubungan di antara dua orang saudaramu dalam nasab.
Dan bertaqwalah kamu kepada Allah SWT dalam segala hal yang kamu lakukan maupun yang kamu tinggalkan. Yang di antaranya adalah memperbaiki hubungan di antara kamu yang kamu disuruh melaksanakannya. Mudah- mudahan Tuhanmu memberi rahmat kepadamu dan memaafkan dosa- dosamu yang telah lalu apabila kamu mematuhi Dia dan mengikuti perintah dan larangan-Nya.
b.      QS. Al-Hujurat : 11
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw öyó¡o ×Pöqs% `ÏiB BQöqs% #Ó|¤tã br& (#qçRqä3tƒ #ZŽöyz öNåk÷]ÏiB Ÿwur Öä!$|¡ÎS `ÏiB >ä!$|¡ÎpS #Ó|¤tã br& £`ä3tƒ #ZŽöyz £`åk÷]ÏiB ( Ÿwur (#ÿrâÏJù=s? ö/ä3|¡àÿRr& Ÿwur (#rât/$uZs? É=»s)ø9F{$$Î/ ( }§ø©Î/ ãLôœew$# ä-qÝ¡àÿø9$# y÷èt/ Ç`»yJƒM}$# 4 `tBur öN©9 ó=çGtƒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqçHÍ>»©à9$# ÇÊÊÈ  
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan jangan kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka itulah orang-orang yang dzalim.”
Janganlah beberapa orang dari orang-orang mu’min mengolok-olok orang-orang mu’min lainnya. Karena kadang-kadang orang yang diolok-olokkan itu lebih baik di sisi Allah SWT. dari pada orang yang mengolok-olokkannya. Dan janganlah kaum wanita mengolok-olok wanita lainnya, karena barang kali wanita-wanita yang diolok-olokkan itu lebih baik dari pada wanita-wanita yang mengolok-olokkan.
Allah SWT. menyebutkan kata jama’ pada dua tempat dalam ayat tersebut, karena kebanyakan mengolok-olok itu dilakukan di tengah orang banyak, sehingga sekian banyak orang enak saja mengolok-olokkan, sementara dipihak lain banyak pula yang sakit hati. Dan janganlah sebagian kamu mencela sebagian yang lain dengan ucapan atau isyarat secara tersembunyi.
Kata anfusakum merupakan peringatan bahwa orang yang berakal tentu tidak akan mencela dirinya sendiri. Seperti halnya sabda Nabi, “orang- orang mu’min itu seperti halnya satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh menderita sakit, maka seluruh tubuh itu menderita sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan tak bisa tidur dan demam.”
Dan janganlah sebagian kamu mamanggil sebagian yang lain dengan gelar yang manyakiti dan tidak disukai. Seperti halnya berkata kepada sesama muslim,”Hai fasik, hai munafik dan lain sebagainya. Adapun gelar- gelar yang memuat pujian dan penghormatan, dan merupakan gelar yang benar tidak dusta, maka hal itu tidak dilarang, sebagaimana orang memanggil Abu Bakar dengan ‘Atiq dan Umar dengan nama Al-Faruq.
Alangkah buruknya sebutan yang disampaikan kepada orang-orang mu’min bila mereka disebut sebagai orang-orang yang fasik setelah mereka masuk ke dalam iman dan termasyhur dengan keimanan tersebut. Dan barang siapa tidak bertaubat dari mencela saudara-saudaranya dengan gelar-gelar yang Allah SWT melarang mengucapkannya atau menggunakannya sebagai ejekan atau olok-olok terhadapnya, maka mereka itulah orang-orang yang menganianya diri sendiriyang berarti mereka menimpakan hukuman Allah SWT terhadap diri sendiri karena kemaksiatan mereka terhadap-Nya.
c.       Qs. Al-Hujurat : 12
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qç7Ï^tGô_$# #ZŽÏWx. z`ÏiB Çd`©à9$# žcÎ) uÙ÷èt/ Çd`©à9$# ÒOøOÎ) ( Ÿwur (#qÝ¡¡¡pgrB Ÿwur =tGøótƒ Nä3àÒ÷è­/ $³Ò÷èt/ 4 =Ïtär& óOà2ßtnr& br& Ÿ@à2ù'tƒ zNóss9 ÏmŠÅzr& $\GøŠtB çnqßJçF÷d̍s3sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# Ò>#§qs? ×LìÏm§ ÇÊËÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, jahuilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah SWT. Sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha penyanyang.”
Pada ayat di atas, menjelaskan tentang perkara-perkara besar yang menambah semakin kuatnya hubungan dalam masyarakat islam, yaitu :
  1. Menghindari prasangka yang buruk terhadap sesama manusia
  2. Jangan mencari keburukan dan aib orang lain
  3. Jangan sebagian mereka menyebut sebagian yang lain dengan hal-hal yang tidak mereka sukai tanpa sepengetahuan mereka.
d.      Qs. Al-Hujurat : 13
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  
 “Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesunggunhnya orang yang paling mulia di sisi Allah SWT ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha mengenal.”
Pada QS. Al-Hujurat : 11 kata qaum dihubungkan dengan kelompok orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan. Ini menunjukkan bahwa kata qaum berhubungan dengan manusia. Al-Qur’an menghendaki agar hubungan kemasyarakatan manusia dapat berjalan baik, hendaknya disertai dengan etika. Antara satu dan lainnya tidak boleh saling mengejek, memanggil dengan sebutan yang buruk. Selanjutnya dalam ayat 12 surat Al-Hujurat etika hubungan tersebut dilanjutkan dengan larangan saling berburuk sangka (negative thingking), membicarakan keburukan orang lain (menggunjing). Agar terhindar dari perbuatan tersebut, seseorang hendaknya meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. Sedangkan pada ayat 10 surat Al-Hujurat telah diletakkan dasar untuk membangun masyarakat dengan rasa persaudaraan (ukhuwah). Dengan dasar ini, jika di antara mereka terjadi perselisihan, hendaknya didamaikan dengan cara yang sebaik-baiknya.
Salah satu hukum kemasyarakatan yang paling populer adalah hukum terjadinya perubahan sosial, sebagaimana dinyatakan :
a.      Qs. Ar-Ra’d : 11
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ̍øBr& «!$# 3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ    
“Ada baginya pengikut-pengikut yang bergiliran, dihadapannya dan dibelakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah SWT. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu qaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu qaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
Perubahan yang dilakukan Tuhan terjadi secara pasti melalui hukum-hukum kemasyarakatan yang ditetapkan Tuhan. Kata maa bianfusihim yang diterjemahkan dengan apa yang terdapat dalam diri mereka, mengandung dua unsur pokok, yaitu nilai-nilai yang dihayati dan iradah (kehendak) manusia. Perpaduan keduanya menciptakan kekuatan pendorong manusia dalam melakukan suatu perbuatan.
b.      Qs. Al-Anfal : 53
y7Ï9ºsŒ  cr'Î/ ©!$# öNs9 à7tƒ #ZŽÉitóãB ºpyJ÷èÏoR $ygyJyè÷Rr& 4n?tã BQöqs% 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/   žcr&ur ©!$# ììÏJy ÒOŠÎ=tæ ÇÎÌÈ  
“Yang demikian itu adalah karena sesunggunhnya Allah sekali-kali tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah dianugrahkan-Nya kepada suatu qaum hingga qaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”
Bahwasanya Allah tidak akan merubah sesuatu ni’mat yang telah dianugrahkan-Nya kepada seseorang melainkan karena dosa yang dilakukannya.
Ada beberapa hal yang perlu di garis bawahi menyangkut kedua ayat di atas, yaitu :
  1. Ayat-ayat tersebut, berbicara tentang perubahan sosial, bukan perubahan individu. Ini dapat dipahami dari penggunaan kata qaum (masayarakat) pada kedua ayat tersebut.
  2. Penggunaan kata qaum, juga menunujukkan bahwa hukum kemasyarakatan ini tidak hanya berlaku bagi kaum muslimin atau satu suku, ras dan agama tertentu, tetapi ini berlaku umum, kapan dan di mana mereka berada.
  3. Kedua ayat tersebut, berbicara tentang dua pelaku perubahan. Pelaku yang pertama adalah Allah SWT Sedang pelaku ke dua adalah manusia.
  4. Kedua ayat tersebut, menekankan bahwa perubahan yang dilakukan oleh Allah SWT, haruslah didahului oleh perubahan yang dilakukan oleh masyarakat.



C.    AKHLAQ BERMASYARAKAT

1.      BERTAMU DAN MENERIMA TAMU
Dalam kehidupan bermasyarakat, kita tidak akan pernah terlepas dari kegiatan bertamu dan menerima tamu. Adakalanya kita yang datang mengunjungi sanak saudara, teman- teman atau para kenalan, dan lain waktu kita yang dikunjungi. Supaya kegiatan kunjungi mengunjungi tersebut tetap berdampak positif bagi kedua belah pihak, maka Islam memberikan tuntunan bagaimana sebaiknya kegiatan bertamu dan menerima tamu tersebut dilakukan.
Bertamu
Sebelum memasuki rumah seseorang, hendaklah yang bertamu terlebih dahulu meminta izin dan mengucapkan salam kepada penghuni rumah. Allah SWT berfirman :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=äzôs? $·?qãç/ uŽöxî öNà6Ï?qãç/ 4_®Lym (#qÝ¡ÎSù'tGó¡n@ (#qßJÏk=|¡è@ur #n?tã $ygÎ=÷dr& 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 öNä3ª=yès9 šcr㍩.xs? ÇËÐÈ  
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS. An- Nur 24: 27)
Manakah yang lebih dahulu dilakukan, meminta izin atau mengucapkan salam? Kalau dilihat dari redaksi ayat diatas, maka yang pertama dilakukan adalah meinta izin, baru kemudian mengucapkan salam. Demikianlah pendapat sebagian ulama. Tetapi mayoritas ahli fiqh berpendapat sebaliknya. Mereka berargumentasi dengan menyebutkan beberapa hadits Rasulullah SAW riwayat Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, Ibn Abi Syaibah dan Ibn ‘Abd al- Bar yang sekalipun dengan redaksi yang berbeda- beda tapi semuanya menyatakan bahwa mengucapkan salam lebih dahulu dari meminta izin (as- salam qabl al- kalam).
Sementara itu ulama lain mengkompromikan dua pendapat diatas dengan menyatakan bahwa, apabila tamu melihat salah seorang penghuni rumah, maka dia mengucapkan salam terlebih dahulu. Tapi bila tidak melihat siapa- siapa maka hendaklah dia meminta izin terlebih dahulu. Pendapat terakhir inilah yang dipilih oleh al- Mawardi.
Meminta izin bisa dengan kata- kata, dan bisa pula dengan ketukan pintu atau tekan tombol bel atau cara- cara lain yang dikenal baik oleh masyarakat setempat. Bahkan salam itu sendiri bisa juga dianggap sekaligus sebagai permohonan izin.
Menurut Rasulullah SAW, meminta izin maksimal boleh dilakukan tiga kali. Apabila tidak ada jawaban seyogyanya yang akan bertamu kembali pulang. Jangan sekali- kali masuk rumah orang lain tanpa izin, karena disamping tidak menyenangkan bahkan mengganggu tuan rumah, juga dapat berakibat negatif kepada tamu itu sendiri. Rasulullah SAW bersabda :
“ Jika seseorang diantara kamu telah meminta izin tiga kali, lalu tidak diizinkan, maka hendaklah dia kembali,” (HR. Bukhari Muslim)
Kenapa meminta izin maksimal tiga kali? Karena ketukan yang pertama sebagai pemberitahuan kepada tuan rumah akan kedatangan tamu, ketuka kedua memberikan kesempatan kepada penghuni rumah untuk bersiap- siap atau menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan (boleh jadi ada meja dan kursi atau pakaian yang perlu dirapikan), ketukan ketiga diharapkan penghuni rumah sudah berjalan menuju pintu. Setelah ketukan ketiga tetap tidak ada yang membukakan pintu, ada kemungkinan tidak ada orang dirumah, atau penghuni rumah tidak bersedia menerima tamu.
Tamu tidak boleh mendesakkan keinginannya untuk bertamu setelah ketukan ketiga, karena hal tersebut akan mengganggu tuan rumah. Setiap orang diberi hak privasi dirumahnya masing- masing. Tidak seorang pun boleh mengganggunya. Tuan rumah, sekalipun dianjurkan untuk menerima dan memuliakan tamu, tapi tetap punya hak untuk menolak kedatangan tamu kalau memang dia tidak dalam suasana siap dikunjungi.
Menurut ungkapan Al- Qur’an, tidak memaksa masuk pada saat tidak ada orang di rumah, atau ditolak oleh tuan rumah, lebih bersih bagi tamu itu sendiri. Artinya lebih menjaga nama baiknya dan kehormatan dirinya. Kalau dia mendesak terus untuk bertamu, dia kan dinilai kurang memiliki akhlaq, apabila dia masuk padahal tidak ada orang di rumah, bisa- bisa dia dituduh bermaksud mencuri. Kedua- duanya merugikan nama baiknya. Allah SWT berfirman :
bÎ*sù óO©9 (#rßÅgrB !$ygŠÏù #Yymr& Ÿxsù $ydqè=äzôs? 4Ó®Lym šcsŒ÷sムö/ä3s9 ( bÎ)ur Ÿ@ŠÏ% ãNä3s9 (#qãèÅ_ö$# (#qãèÅ_ö$$sù ( uqèd 4s1ør& öNä3s9 4 ª!$#ur $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÈ  
“Jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja) lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An- Nur 24: 28)
            Disamping meminta izin dan mengucapkan salam hal lain yang perlu diperhatika oleh setiap orang yang bertamu adalah sebagai berikut :
a.       Jangan bertamu sembarang waktu. Bertamulah pada saat yang tepat, saat mana tuan rumah diperkirakan tidak akan terganggu. Misalnya jangan bertamu waktu istirahat atau waktu tidur.
b.      Kalau diterima bertamu, jangan terlalu lama sehingga merepotkan tuan rumah. Setelah urusan selesai segeralah pulang.
c.       Jangan melakukan kegiatan yang menyebabkan tuan rumah terganggu, misalnya memeriksa ruangan dan perabotan rumah, memasuki ruangan- ruangan pribadi tanpa izin, atau menggunakan fasilitas- fasilitas yang ada dalam rumah tanpa seizin penghuni rumah. Diizinkan masuk rumah tidak berarti diizinkan segalanya- galanya.
d.      Kalau disuguhi minuman atau makanan hormatilah jamuan itu. Bahkan Rasulullah SAW menganjurkan kepada orang yang puasa sunnah sebaiknya membukai puasanya untuk menghormati jamuan (HR. Baihaqi).
e.       Hendaklah pamit waktu mau pulang. Meninggalkan rumah tanpa pamit disamping tidak terpuji, juga mengandung fitnah.

Menerima Tamu
            Menerima dan memuliakan tamu tanpa membeda- bedakan status sosial mereka adalah salah satu sifat terpuji yang sangat dianjurkan dalam Islam. Bahkan Rasulullah SAW mengaitkan sifat memuliakan tamu itu dengan keimanan terhadap Allah dan Hari Akhir. Beliau bersabda :
“ Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
            Memuliakan tamu dilakukan antara lain dengan menyambut kedatangannya dengan muka manis dan tutur kata yang lemah lembut, mempersilahkannya duduk di tempat yang baik. Kalau perlu disediakan ruangan khusus untuk menerima tamu yang selalu dijaga kerapian dan keasriannya.
Kalau tamu datang dari tempat yang jauh dan ingin menginap, tuan rumah wajib menerima dan menjamunya maksimal tiga hari tiga malam. Lebih dari tiga hari terserah kepada tuan rumah untuk tetap menjamunya atau tidak. Menurut Rasulullah SAW, menjamu tamu lebih dari tiga hari nilainya sedekah, bukan lagi kewajiban. Rasulullah SAW bersabda :
“ Menjamu tamu itu hanya tiga hari. Jizahnya sehari semalam. Apa yang dibelanjakan untuk tamu diatas tiga hari adalah sedekah. Dan tidak boleh bagi tamu tetap menginap (lebih dari tiga hari) karena hal itu akan memberatkan tuan rumah.” (HR. Tirmidzi)
            Menurut Imam Malik, yang dimaksud dengan jaizah sehari semalam adalah memuliakan dan menjamu tamu pada hari pertama dengan hidangan yang istimewa dari hidangan yang biasa dimakan tuan rumah sehari- hari. Sedangkan hari kedua dan ketiga dijamu dengan hidangan biasa sehari- hari.
            Sedangkan menurut Ibn al- Atsir, yang dimaksud dengan jaizah sehari semalam adalah memberi bekal kepada tamu untuk perjalanan sehari semalam. Dalam konteks perjalanan di padang pasir, diperlukan bekal minimal untuk sehari semalam sampai bertemu dengan tempat persinggahan berikutnya.
            Kedua pemahaman diatas dapat dikompromikan dengan melakukan kedua- duanya apabila memang tamunya membutuhkan bekal untuk melanjutkan perjalanan. Tapi bagaimana pun bentuknya, substansi tetap sama yaitu anjuran untuk memuliakan tamu sedemikian rupa.


2.      HUBUNGAN BAIK DENGAN TETANGGA
Sesudah anggota keluarga sendiri, orang yang paling dekat dengan kita adalah tetangga. Merekalah yang diharapkan paling dahulu memberikan bantuan jika kita membutuhkannya. Jika tiba- tiba kita ditimpa musibah kematian misalnya, tetanggalah yang paling dahulu datang takziah dan mengulurkan bantuan. Begitu juga apabila kita mengadakan acara aqiqahan atau walimahan, maka tetangga jugalah yang akan lebih dahulu memberikan bantuan dibandingkan famili yang rumahnya lebih jauh. Kepada tetangga pulalah kita menitipkan rumah jika kita sekeluarga bepergian jauh keluar kota atau keluar daerah.
Begitu pentingnya peran tetangga sampai Rasulullah SAW menganjurkan kepada siapa saja yang akan membeli rumah atau membeli tanah untuk dibangun rumah, hendaklah mempertimbangkan siapa yang akan menjadi tetangganya. Beliau bersabda :
“Tetangga sebelum rumah, kawan sebelum jalan, dan bekal sebelum perjalanan.” (HR. Khatib)
Dalam kesempatan lain Rasulullah SAW juga mengatakan bahwa tetangga yang baik adalah salah satu dari tiga hal yang membahagiakan hidup :
“ Di antara yang membuat bahagia seorang Muslim adalah tetangga yang baik, rumah yang lapang dan kendaraan yang nyaman.” (HR. Hakim)
            Baik buruknya sikap tetangga kepada kita tentu tergantung juga bagaimana kita bersikap kepada mereka. Oleh sebab itu sangat dapat dimengerti kenapa Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk berbuat baik dengan tetangga, baik tetangga dekat maupun tetangga jauh. Allah SWT berfirman :
 (#rßç6ôã$#ur ©!$# Ÿwur (#qä.ÎŽô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© ( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) ÉÎ/ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Í$pgø:$#ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# Í$pgø:$#ur É=ãYàfø9$# É=Ïm$¢Á9$#ur É=/Zyfø9$$Î/ Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# $tBur ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷ƒr& 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä `tB tb%Ÿ2 Zw$tFøƒèC #·qãsù ÇÌÏÈ  
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An- Nisa’ 4: 36)
            Dekat dan jauh dalam ayat diatas dapat berarti dekat dari segi tempat, hubungan kekeluargaan dan agama. Dengan varian agama dan hubungan kekeluargaan, tetangga dapat dibagi kepada tiga klasifikasi. Pertama, tetangga yang punya satu hak, yaitu hak sebagai tetangga. Mereka adalah tetangga yang bukan famili dan bukan pula seagama. Kedua, tetangga yang punya dua hak, yaitu hak tetangga dan hak seagama. Mereka adalah tetangga yang seagama. Ketiga, tetangga yang punya tiga hak, yaitu hak tetangga, seagama dan famili. Mereka adalah tetangga yang seagama dan punya hubungan kekeluargaan.
            Tetangga yang punya hak lebih banyak, lebih berhak mendapatkan kebaikan dari kita. Klasifikasi tersebut diperlukan untuk menentukan prioritas apabila karena keterbatasan, kita hanya mampu berbuat baik kepada sebagian mereka saja.

Pentingnya Hubungan Baik dengan Tetangga
            Berkali- kali Malaikat Jibril memesankan kepada Nabi Muhammad SAW untuk berbuat baik dengan tetangga, sampai- sampai beliau mengira tetangga akan mendapatkan warisan. Nabi bersabda :
“Selalu Jibril memesankan kepadaku (untuk berbuat baik) dengan tetangga, sampai- sampai aku menduga bahwa tetangga akan menerima warisan”. (H. Muttafaqun ‘Alaih)
            Dalam beberapa hadits lain Rasulullah SAW menjadikan sikap baik dengan tetangga sebagai ukuran dari keimanan seseorang kepada Allah dan Hari Akhir. Beliau bersabda :
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

            Dari beberapa hadits diatas tampak bagi kita betapa pentingnya sikap baik kepada tetangga. Sikap hidup bertetangga mempunyai hubungan yang signifikan dengan kualitas iman seseorang. Semakin kuat iman seseorang, semakin baik dia dengan tetangganya, begitu pula sebaliknya.
Bentuk- bentuk Hubungan Baik dengan Tetangga
            Minimal hubungan baik dengan tetangga diwujudkan dalam bentuk tidak mengganggu atau menyusahkan mereka. Misalnya, waktu tetangga tidur atau istirahat, kita tidak membunyikan radio atau tv dengan volume tinggi. Tidak membuang sampah ke halaman rumah tetangga. Tidak menyakiti hati tetangga dengan kata- kata kasar dan tidak sopan.
            Yang lebih baik lagi tidak hanya sekedar menjaga jangan sampai tetangga terganggu, tapi secara aktif berbuat baik kepada mereka. Misalnya dengan mengucapkan salam dan bertegur sapa dengan ramah, memberikan pertolongan apabila tetangga membutuhkannya, apabila kita memasak makanan, memberikannya sebagian kepada tetangga. Dalam hal ini Rasulullah SAW pernah berpesan kepada Abu Dzar :
“Jika engaku memasak gulai, perbanyaklah kuahnya, kemudian perhatikanlah tetangga- tetanggamu, dan berilah mereka sepantasnya” (HR. Muslim)
            Seorang Muslim harus peduli dan memperhatikan tetangganya. Mengulurkan tangan untuk mengatasi kesulitan hidup yang dihadapi oleh tetangga. Jangan sampai terjadi seseorang dapat tidur nyenyak sementara tetangganya menangis kelaparan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits :
“Tidaklah beriman kepadaku orang yang dapat tidur dengan perut kenyang sementara tetangganya kelaparan, padahal dia mengetahui.” (HR. Bazzar)

3.      HUBUNGAN BAIK DENGAN MASYARAKAT
Selain dengan tamu dan tetangga, seorang Muslim harus dapat berhubungan baik dengan masyarakat yang lebih luas, baik di lingkungan pendidikan, kerja, sosial dan lingkungan lainnya. Baik dengan orang- orang yang seagama, maupun dengan pemeluk agama lainnya.
Hubungan baik dengan masyarakat diperlukan, karena tidak ada seorangpun yang dapat hidup tanpa bantuan masyarakat. Lagi pula hidup bermasyarakat sudah merupakan fitrah manusia. Dalam Surat Al- Hujurat ayat 13 dinyatakan bahwa manusia diciptakan dari lelaki dan perempuan, bersuku- suku dan berbangsa- bangsa, agar mereka saling kenal mengenal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, menurut Al- Qur’an, manusia secara fitri adalah makhluk sosial dan hidup bermasyarakat merupakan suatu keniscayaan bagi mereka.
Pada dasarnya, tidak ada bedanya antara tata cara pergaulan bermasyarakat sesama Muslim dan dengan non Muslim. Kalaupun ada perbedaan, hanya terbatas dalam beberapa hal yang bersifat ritual keagamaan.
Kewajiban Sosial Sesama Muslim
            Untuk terciptanya hubungan baik sesama Muslim dalam masyarakat, setiap orang harus mengetahui hak dan kewajibannya masing- masing sebagai anggota masyarakat. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menyebutkan ada lima kewajiban seorang Muslim atas Muslim lainnya. Beliau bersabda :
“Kewajiban seorang Muslim atas Muslim lainnya ada lima : Menjawab salam, mengunjungi orang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan, dan menjawab orang bersin.” (HR. Khamsah)
1.      Menjawab Salam
Mengucapkan dan menjawab salam hukumnya berbeda. Mengucapkannya sunnah, menjawabnya wajib. Hal itu dapat dimengerti karena tidak menjawab salam yang diucapkannya, tidak hanya dapat mengecewakan orang yang mengucapkannya, juga dapat menimbulkan kesalahfahaman. Salam harus dijawab minimal dengan salam yang seimbang, tapi akan lebih baik lagi bila dijawab dengan salam yang lebih lengkap. Allah SWT berfirman :
#sŒÎ)ur LäêŠÍhãm 7p¨ŠÅstFÎ/ (#qŠyssù z`|¡ômr'Î/ !$pk÷]ÏB ÷rr& !$ydrŠâ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. 4n?tã Èe@ä. >äóÓx« $·7ŠÅ¡ym ÇÑÏÈ  
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan. Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.” (QS. An- Nisa’ 4: 86)
2.      Mengunjungi Orang Sakit
Menurut Rasulullah SAW, orang- orang yang beriman itu ibarat satu batang tubuh, apabila salah satu anggota tubuh sakit, yang lain ikut prihatin. Salah satu cara menerapkan hadits diatas adalah dengan meluangkan waktu mengunjungi saudara seagama yang sakit. Kunjungan teman, saudara, adalah “obat yang mujarab” bagi si sakit. Dia merasa senang karena masih ada sahabat untuk berbagi duka. Peribahasa mengatakan, “teman ketawa banyak, teman menangis sedikit.”
Betapa pentingnya mengunjungi orang sakit itu dapat terlihat dalam hadits qudsi berikut ini. Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla berfirman pada hari Kiamat : “Hai anak Adam, Aku sakit, kenapa kamu tidak datang mengunjungi- Ku?” Anak Adam menjawab : “Ya Tuhan, bagaimana aku akan mengunjungi- Mu sedangkan Engkau adalah Tuhan Semesta Alam?” Allah berfirman : “Tidakkah kamu tahu bahwa si Fulan hamba- Ku sakit, kenapa kamu tidak mengunjunginya? Tahukah kamu, jika kamu mengunjunginya niscaya kamu akan menemui- Ku di sisinya..” (HR. Muslim)
3.      Mengiringi Jenazah
Apabila seseorang meninggal dunia, masyarakat secara kifayah wajib memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkannya. Rasulullah SAW sangat menganjurkan kepada masyarakat untuk dapat menshalatkan dan mengantarkan jenazah ke kuburan bersama- sama. Beliau bersabda :
“Barangsiapa yang menyaksikan jenazah lalu ikut menshalatkannya, baginya satu qirath. Dan barangsiapa yang menyaksikannya sampai dikuburkan, baginya dua qirath.” Ditanyakan orang : “Apa itu dua qirath?” Beliau bersabda : “Seperti dua gunung yang besar (pahalanya).” (H. Muttafaqun ‘Alaih)
            Mengantarkan jenazah sampai ke kuburan, disamping untuk mengurangi kedukaan ahli waris yang ditinggalkan, juga sangat penting untuk mengingatkan, bahwa cepat atau lambat tapi pasti, setiap orang pasti akan mengalami kematian, oleh sebab itu bersiap- siaplah menghadapinya.
4.      Mengabulkan Undangan
Undang mengundang sudah menjadi tradisi dalam pergaulan bermasyarakat. Yang mengundang akan kecewa lagi bila yang berhalangan hadir tidak memberi khabar apa- apa. Oleh sebab itu seorang Muslim sangat dianjurkan memenuhi berbagai undangan yang diterimanya (menghadiri pengajian, rapat, aqiqahan dan lain sebagainya) selama tidak ada halangan, dan acara- acara tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Khusus untuk undangan walimahan (resepsi perkawinan) seorang Muslim wajib menghadirinya. Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila seseorang di antara kamu diundang menghadiri walimahan, maka hendaklah dia menghadirinya.” (H. Muttafaqun ‘Alaih)
            Kewajiban menghadiri walimahan dapat dipahami, karena pada umumnya walimahan hanya terjadi sekali dalam perjalanan hidup seseorang. Alangkah kecewanya dia, apabila sahabat, saudara dan kenalannya tidak menghadiri undangannya tanpa suatu alasan yang dapat diterima. Oleh sebab itu apabila kita berhalangan menghadirinya, sebaiknya kita memberi tahu terlebih dahulu atau belakangan, diiringi permohonan maaf.
5.      Menyahuti Orang Bersin
Orang yang bersin disunatkan untuk membaca Alhamdulillah, bersyukur kepada Allah, karena bisanya bersin pertanda badan ringan dari penyakit. Bagi yang mendengar (orang bersin mengucapkan Alhamdulillah), diwajibkan menyahutinya dengan membaca yarhamukallah (mendoakan semoga Allah mengasihinya). Orang yang tadi bersin menjawab pula, yahdikumullah wa yushlih balakum (semoga Allah menunjuki dan memperbaiki keadaanmu). Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda :
“Jika salah seorang di antaramu bersin hendaklah dia membaca Alhamdulillah. Hendaklah saudara atau temannya (yang mendengar) mengucapkan kepadanya, yarhamukallah. Jika dia ucapkan padanya yarhamukallah hendaklah dia mengucapkan yahdikumullah wa yushlih balakum.” (HR. Muslim)


            Jika yang bersin tidak mengucapkan Alhamdulillah, kita tidak boleh menyahutinya. Rasulullah SAW bersabda :
“Jika salah seorang diantara kamu bersin dan mengucapkan Alhamdulillah, maka sahutilah. Jika dia tidak membaca Alhamdulillah, jangan disahuti.” (HR. Muslim)
            Ajaran Islam tentang bersin disamping mempunyai nilai ibadah, juga sangat besar artinya dalam memperkuat tali ikatan sesama anggota masyarakat, karena masing- masing saling memperhatikan dan mendo’akan. Kalau dalam hal- hal yang dianggap kecil saja seperti bersin, kita saling memperhatikan dan mendo’akan itu akan lebih meningkat lagi.

Toleransi Agama
            Diatas sudah dijelaskan bahwa Islam tidak hanya menyuruh kita membina hubungan baik dengan sesama Muslim saja, tapi juga dengan non Muslim. Namun demikian dalam hal- hal tertentu ada pembatasan hubungan dengan non Muslim, terutama yang menyangkut aspek ritual keagamaan. Misalnya kita tidak boleh mengikuti upacara- upacara keagamaan yang mereka adakan sekalipun kita diundang, kita tidak boleh mendo’akannya untuk mendapatkan rahmat dan berkah dari Allah SWT (kecuali mendo’akannya supaya mendapat hidayah) dan lain sebagainya. Sehingga dalam bertegur sapa misalnya, untuk non Muslim kita tidak mengucapkan salam Islam, tapi menggantinya dengan ucapan- ucapan lain sesuai kebiasaan.
            Dalam berhubungan dengan masyarakat non Muslim, Islam menagajarkan kepada kita untuk toleransi, yaitu menghormati keyakinan umat lain tanpa berusaha memaksakan keyakinan kita kepada mereka (QS. Al- Baqarah 2: 256). Kalau berdialog dengan mereka, kita berdialog dengan cara yang terbaik (QS. Al- Ankabut 29: 46). Tidak boleh menghina agama atau keyakinan mereka, apalagi mencela Tuhan mereka.
            Toleransi tidaklah berani mengakui kebenaran agama mereka, tapi mengakui keberadaan agama mereka dalam realitas bermasyarakat. Toleransi juga bukan berarti kompromi atau bersifat sinkretisme dalam keyakinan dan ibadah. Kita sama sekali tidak boleh mengikuti agama dan ibadah mereka dengan alasan apapun.

Sikap kita dalam hal ini sudah jelas dan tegas yaitu :
ö/ä3s9 ö/ä3ãYƒÏŠ uÍ<ur ÈûïÏŠ ÇÏÈ  
“Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (QS. Al- Kafirun 109: 6)
            Demikianlah, mudah- mudahan kita dapat menjadi anggota masyarakat yang selalu berbuat baik kepada anggota masyarakat lainnya.
4.      Kandungan Pendidikan
Pemahaman terhadap konsep masyarakat yang ideal amat diperlukan dalam rangka mengembangkan konsep pendidikan. Berkenaan dengan ini paling tidak terdapat empat hal yang menggambarkan hubungan konsep masyarakat dengan pendidikan, antara lain :
  1. Bahwa gambaran masyarakat yang ideal harus dijadikan salah satu pertimbangan dalam merancang visi, misi dan tujuan pendidikan
  2. Gambaran masyarakat yang ideal juga harus dijadikan landasan bagi pengembangan pendidikan yang berbasis masyarakat
  3. Perkembangan dan kemajuan yang terjadi di masyarakat juga harus dipertimbangkan dalam merumuskan tujuan pendidikan
  4. Perkembangan dan kemajuan yang terjadi di masyarakat harus dijadikan landasan bagi perumusan kurikulum







BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut :
  1. Pengertian masyarakat adalah tempat berkumpulnya manusia yang di dalamnya terdapat sistem hubungan, aturan serta pola-pola hubungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
  2. Istilah masyarakat dapat dilihat dari adanya berbagai istilah lain yang dapat dihubungkan dengan konsep pembinaan masyarakat, seperti istilah ummat, syu’ub, qabail.
  3. Dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang masyarakat di antaranya, Qs. Al-Hujurat ayat 10-13, Ar-Ra’d ayat 13, dan Al-Anfal ayat 53.
  4. Anjuran untuk membangun masyarakat yang dilandasi dengan rasa persaudaraan (ukhuwah), disertai dengan etika sehingga dapat meningkatkan ketaqwaan, serta larangan berburuk sangka (negative thingking), menggunjing, memanggil saudaranya dengan gelar yang buruk.
  5. Perlu adanya pemahaman terhadap konsep masyarakat yang ideal untuk mengembangkan konsep pendidikan
B.  Saran
Demikianlah makalah tentang istilah masyarakat dalam Al-Qur’an serta konsep masyarakat yang ideal untuk mengembangkan konsep pendidikan yang pemakalah buat. Kritik dan saran yang kontruktif senantiasa dinantikan pemakalah demi perbaikan makalah berikutnya. Akhir kata, kami hanya bisa mengucap tidak ada gading yang tak retak hanya milik-Nyalah kesempurnaan yang merajai langit dan bumi serta isinya. Semoga penulisan makalah ini bermanfaat. Amin.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Maragi, Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maragi juz XXVI. Smarang : Toha Putra, 1993
Ar-Rifa’I, Muhammad Nasib, Tafsir Ibnu Katsir jilid 2. Jakarta : Gema Insani Press, 1999
Nata, Abudin, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta : Rajawali Pers, 2009
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an. Bandung : Mizan, 1996
Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Misbah juz 6. Jakarta : Lentera Hati, 2008
Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlaq, Yogyakarta : LPPI UMY, 2012.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar